Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ramai Menanggapi Saya Tahu Saya Tidak Tahu

NASKAH Saya Tahu Bahwa Saya Tidak Tahu (kompas.com 6 September 2020) ramai memperoleh tanggapan dari beberapa pihak.

Marketing dan Kombinatorika

Misalnya sarjana ilmu marketing penggemar lari pagi, Yabes Febry memberikan tanggapan kontemplatif metafisikal.

“Saya juga tahu bahwa banyak yang saya tidak tahu. Kadang semakin ingin tahu semakin tidak tahu. Apakah ketidak-tahuan harus dijawab dengan ketahuan? Ada banyak hal yang harus kita relakan untuk tetap tidak tahu karena memang kemampuan untuk tahu kita ada batasannya.”

Doktor matematika yang mengajar di Fakultas Matematika Universitas Indonesia merangkap Vice President Institute of Combinatorics and Its Applications, DR Kiki Ariyanti Sugeng menyampaikan opini tidak kalah filosofis terkait komunikasi.

”Terima kasih untuk artikelnya yang mempunyai makna yang dalam. Konon lebih mudah berkomunikasi dengan orang yang tahu bahwa dia tidak tahu ketimbang menghadapi orang yang tidak tahu bahwa dia tidak tahu.“

Imam Ghozali dan punakawan Bali

Pemusik merangkap penyair merangkap filosof pendamping setia Gus Dur, DR Al Zastrouw bersabda petuah,

“Kalau Imam Ghozali menganggap jenis manusia ini adalah manusia unggul 'Rajulun ya'rifu annahu lam ya'rif' (orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu). Sementara yang paling dungu dan berbahaya menurut Imam Ghozali itu adalah jenis manusia 'rajulun la ya'rifu annahu lam ya'rif ' (seseorang yang tidak tahu kalau dia tidak tahu). Orang seperti itu adalah orang sombong, sok tahu dan sok kuasa”.

Sementara mahaguru lontaromologi saya, DR Sugi Lanur, arif bijaksana memberikan penjelasan bahwa di dalam pewayangan Bali, ada 4 karakter punakawan yang bisa menjadi renungan: tualen, merdah, sangut, dan delem.

Mereka “mewakili” sikap miliaran manusia yang dirangkum ke dalam 4 gambaran umum.

1. Tualen, dia “tidak tahu dirinya tahu”. Dia kontemplatif, murni bersandar pada batin, sederhana dan penuh kearifan.

2. Merdah, dia “tahu dirinya tahu”. Dia paham, berani dan penuh percaya diri.

3. Sangut, dia “tahu dirinya tidak tahu”. Dia tidak paham, namun bersikap menerima ketidakpahamannya, mengakui kelebihan orang lain, penuh pertimbangan.

4. Delem, dia “tidak tahu dirinya tidak tahu”. Dia tidak tahu tapi merasa tahu, dia tidak tahu tapi tidak menerima pengetahuan orang lain, angkuh dan congkak di depan orang-orang, dan dia tidak bisa mengukur diri. Percaya diri di tengah ketakpahaman. Angkuh dan pongah, merasa paling benar.

Lintas kultural

Menarik bahwa secara lintas kultural ternyata tahumologi yang bukan mempelajari tahu sebagai warisan peradaban kuliner Nusantara namun sebagai warisan kearifan budi-pekerti kakek-nenek moyang bangsa Indonesia memiliki makna yang sangat layak dipelajari dan dihayati sebagai pedoman hidup bagi siapa saja yang menghayatinya.

Pada hakikatnya tahumologi mengajak umat manusia senantiasa rendah hati atas kesadaran bahwa manusia adalah sesosok mahluk yang sangat kecil dan sangat lemah dibandingkan dengan kemahaluasan dan mahakekuatan alam semesta yang tak kenal batasan awal dan akhir.

Fakta membuktikan umat manusia yang menganggap diri sebagai mahluk hidup paling berkuasa di planet bumi ini ternyata sama sekali tidak berdaya melawan mahluk sangat amat kecil sehingga tidak kasat mata seperti virus Corona yang sedang mewabah di segenap pelosok dunia masa kini.

Maka tahumologi mengajak umat manusia senantiasa eling lan waspodo demi bersikap ojo dumeh agar tidak terkebur menganggap diri paling pintar, paling bijak serta paling berkuasa di marcapada ini.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/09/07/135028865/ramai-menanggapi-saya-tahu-saya-tidak-tahu

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke