Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Berkaca dari Indira Khalista, Mengapa Masih Banyak Masyarakat yang Ogah Pakai Masker?

KOMPAS.com - Sebuah video menampilkan tayangan mengenai tanya jawab dari YouTuber Gritte Agatha dengan Indira Khalista berujung viral di media sosial Twitter pada Kamis (14/5/2020).

Dalam video tersebut, Indira mengungkapkan, dirinya jarang memakai masker untuk pencegahan penularan virus corona.

Selain itu, Indira juga mengaku tidak mencuci tangan ketika hendak makan, padahal ia telah memegang sejumlah barang di mal.

"Aku jarang pakai masker, kalau sheetmask aku pakai setiap hari ya, kalau masker yang udara-udara gitu aku enggak pakai, kecuali kalau udah ditegur 'bu, itu maskernya dipakai'. Tapi, kalau enggak ditegur ya kita lepas lagi, ini mampet sayang banget ditutup-tutup. Ini sesek dada, udah sesek," ujar Indira dalam video.

"Terus kalau habis ke mall atau dari pasar itu setelah pegang macem-macem, misal abis beli makanan nih dari ojek online, itu aku enggak cuci tangan udah makan aja terserah. Allahualam lu kena corona kek kena penyakit demam berdarah, semua bisa mati," lanjut Indira.

Adapun video ini diunggah oleh akun Twitter @putpuwi dan masih menjadi viral di media sosial bericon burung itu.

"Sgt disayangkan seorang public figure yg punya subscribers 2 jt orang bisa mengeluarkan statement spt ini. You are not funny at all," tulis akun @putpuwi.

Berkaca dari unggahan video viral itu, mengapa masih ada masyarakat yang enggan melindungi diri sendiri maupun orang lain dengan menggunakan masker?

Direktur Pusat Studi Psikologi Bencana dari Universitas Surabaya Listyo Yuwanto mengungkapkan, ada sejumlah faktor yang membuat orang enggan menggunakan masker yakni perilaku sosial hingga keyakinan akan nasib.

"Faktor-faktor yang membuat orang enggan menggunakan masker antara lain, perilaku sosial, persepsi terhadap ancaman penyakit, persepsi terhadap variabel demografi memiliki peran, berfokus pada kenyamanan kesehatan, budaya reaktif, ketidaktegasan penerapan protokoler pencegahan, dan keyakinan akan nasib," ujar Listyo saat dihubungi Kompas.com, Kamis (14/5/2020).

Berikut pemaparan dari beberapa faktor tersebut.

Listyo mengungkapkan, di negara kita bukan termasuk negara yang perilaku sosial masyarakatnya terbiasa menggunakan masker dalam kondisi tertentu.

Misalnya tidak ada kebiasaan masyarakat dalam berkendara menggunakan masker, saat sakit menggunakan masker, saat banyak polusi udara menggunakan masker.

Jadi, perilaku sosial masyarakat kita terbiasa tanpa menggunakan masker.

"Saat harus menggunakan masker sebagai pengurang risiko terpapar Covid tidak terbiasa dengan hal itu, sehingga hal ini menjadi penghambat tindakan preventif kesehatan yang telah direkomendasikan," ujar Listyo.

Berdasarkan pada kerangka teori Helath Belief Model, mereka yang tidak menggunakan masker umumnya menilai Covid-19 bukan ancaman serius, sehingga enggan mengikuti protokoler pengurangan risiko Covid termasuk menggunakan masker.

"Persepsi ini tidak terlepas dari kurangnya pengetahuan terkait ancaman covid dan adanya lay belief (keyakinan yang tidak tepat) bahwa dirinya kuat dan tidak akan terkena covid sehingga tidak menggunakan masker," terang Listyo.

Persepsi terhadap variabel demografi

Kemudian, dalam faktor persepsi terhadap variabel demografi yakni memiliki peran bahwa pandangan bahwa Covid-19 rentan bagi mereka yang lansia, rentan bagi mereka yang mengidap penyakit tertentu terutama pernafasan.

Oleh karena itu, mereka yang masih muda dan tidak mengalami gangguan tidak akan terkena sehingga tidak memerlukan menggunakan masker.

Faktor lain yang memengaruhi yakni adanya fokus pada kenyamanan ketimbang kesehatan.

Terkait hal ini, Listyo menyampaikan, menggunakan masker memang ada kendala apalagi tidak terbiasa menggunakannya, seperti bernafas tidak bebas, berbicara tidak terlalu jelas suaranya karena terhalang, kemudian ada tali yang menempel di telinga, atau menutup bagian muka.

Hal-hal ini kemudian menjadi dasar penggabaian penggunaan masker yang tentunya lebih berorientasi pada tindakan preventif gangguan kesehatan.

Dengan demikian penilaian untung rugi personal menggunakan masker menjadi faktor pertimbangan yang penting.

Budaya reaktif

Selanjutnya, faktor yang membuat orang enggan memakai masker yakni masyarakat kita sudah terkenal dengan budaya reaktifnya, yaitu apabila terkena baru akan bereaksi.

"Penggunaan masker sebagai preventif biasanya baru akan digunakan apabila lingkungan sekitar ada yang sudah terkena Covid-19, atau ketika diri sudah terkena selalu muncul penyesalan seandainya dulu pakai masker tidak akan mengalami gangguan kesehatan," terang Listyo.

Tak hanya itu, dari faktor ketidakpatuhan juga dimungkinkan dengan adanya ketidaktegasan.

Misalnya tanpa teguran atau sanksi bagi mereka yang tidak menggunakan maka akan muncul persepsi bahwa penggunaan masker adalah sebuah pilihan bagi individu dan individu yang akan menentukan menggunakan masker atau tidak.

"Sehingga akan berdampak pada persepsi bahwa sebenarnya penggunaan masker tidak terlalu penting dan yang lebih parah adalah persepsi bahwa Covid adalah tidak menakutkan atau tidak bisa dikurangi risiko paparannya dengan menggunakan masker," katanya lagi.

Keyakinan akan nasib

Dalam hal ini, Listyo menambahkan bahwa ada faktor "keyakinan akan nasib" yang juga berpengaruh pada ketidakmauan seseorang untuk menggunakan masker.

Artinya, hidup mati sehat sakit ditentukan faktor nasib.

"Jadi menggunakan atau tidak menggunakan masker tergantung nasib bisa terkena atau tidak terkena Covid. Apabila sudah seperti itu keyakinannya maka ada kecenderungan tidak akan menggunakan masker," imbuh dia.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/05/15/124900565/berkaca-dari-indira-khalista-mengapa-masih-banyak-masyarakat-yang-ogah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke