Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Donald Trump Ancam Jatuhkan Sanksi kepada Irak, Haruskah Ditakuti?

KOMPAS.com - Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengancam akan menjatuhkan sanksi kepada Irak.

Ancaman tersebut dilontarkan Trump setelah Parlemen Irak merilis resolusi agar pasukan AS diusir menyusul serangan yang menewaskan Jenderal Qasem Soleimani.

"Jika mereka mengusir kami dengan cara yang tidak baik, maka kami akan menjatuhkan sanksi yang tidak akan pernah mereka bayangkan," ancam Trump seperti dilansir dari AFP, Senin (6/1/2020).

"Sanksi itu akan membuat hukuman yang diberikan kepada Iran seperti recehan," lanjut dia.

Haruskah ancaman Trump ditakuti?

Catatan sejarah

Jika merunut catatan sejarah, AS dan Eropa pernah menghadapi krisis serius akibat embargo minyak yang dilakukan oleh negara-negara Arab, tak terkecuali Irak.

Embargo pada tahun 1973 tersebut dalam rangka mendukung perang melawan Israel.

Pemberitaan Harian Kompas, 26 November 1973, menuliskan, Menteri Luar Negeri Mesir Ismail Fahmy kala itu, mengatakan, minyak Arab harus digunakan dengan kemampuan intelejen yang sama seperta senjata militer.

Pernyataan tersebut disampaikannya saat menghadiri konferensi para menteri luar negeri negara Arab untuk menyatukan sikap militer menghadapi Israel dan meneruskan pengurangan produksi minyak untuk memaksa dunia mendukung sikap Arab.

Bahkan, Menteri Urusan Minyak Arab Saudi Zaki Yamani memperingatkan negara-negara Barat untuk tidak melancarkan balas dendam terhadap aksi boikot minyak Arab ini.

"Bila mereka melancarkan balas dendam, ekonomi dunia seluruhnya akan berantakan," kata Zaki, dikutip dari pemberitaan Harian Kompas, 24 November 1973.

"Senjata minyak kami adalah jauh lebih ampuh daripada yang Anda lihat sekarang. Bahkan, sebenarnya, pengurangan produksi sekarang ini bukan apa-apa. Kami bisa mengurangi tidak hanya 25 persen seperti sekarang ini, tapi 80 persen. Bagaimana negara-negara itu akan dapat hidup kalau kami berbuat demikian," lanjut dia.

Dampak embargo

Harian Kompas, 17 November 1973, memberitakan, Gedung Putih mengumumkan akan mengurangi penggunaan bahan bakar dalam penerbangan Presiden Richard Nixon.

Kecepatan pesawat Boeing 707 kepresidenan AS dikurangi dan tak ada lagi pesawat pengawal.

Presiden Nixon juga memerintahkan agar semua penerbangan domestik di AS dikurangi hingga sepuluh persen.

Sementara itu, tiga perusahaan penerbangan internasional, Panam, TWA, dan BOAC sepakat untuk mengurangi jumlah penerbangan internasional.

Di Jerman Barat, perusahaan-perusahaan minyak besar yang bermarkas di Hamburg membatasi penjualan bensin dan solar hanya 20-25 liter per kendaraan.

Bahkan, Kanselir Jerman Willy Brandt melarang naik mobil hari Minggu dan hari-hari libur.

Kondisi yang sama juga terjadi di Inggris. Keadaan darurat ketersediaan minyak memaksa Perdana Menteri Edward Heath untuk melakukan penghematan di semua bidang, kecuali lembaga medis, farmasi dan perumahan rakyat.

Akibatnya, anak-anak sekolah memasuki gedung sekolah yang cukup dingin karena tidak ada penghangat ruangan.

Melunak

Beberapa negara pun mulai melunak terhadap negara Arab.

Eropa Barat mulai melunakkan sikapnya dengan pernyataan-pernyataan pro-Arab, meski kekurangan bahan bakar tetap mengancam.

Jepang yang juga masuk dalam daftar boikot karena dianggap bertentangan dengan negara Arab, mulai mundur teratur.

Negeri Matahari Terbit itu kemudian mengeluarkan pernyataan resmi untuk mendukung tuntutan Arab agar Israel mengembalikan wilayah-wilayah yang telah diduduki.

Meski demikian, AS menegaskan tidak akan mengubah kebijakan luar negerinya hanya karena tekanan minyak Arab.

Hal itu seperti diungkapkan oleh Menlu Kissinger saat konferensi pers, dikutip dari pemberitaan Harian Kompas, 23 November 1973.

Kissinger juga memperingatkan bahwa AS mungkin akan terpaksa melakukan tindakan balasan.

Namun, dalam pernyataannya itu, Kissinger berusaha menghindarkan kata-kata yang tajam dan dengan halus meminta kepada negara Arab supaya memperlunak sikapnya terhadap AS.

Pelajaran bagi Irak dan Negara Arab

Irak kini menghadapi situasi sulit setelah mendapat ancaman sanksi dari Donald Trump.

Kondisi ekonomi negara yang tak kunjung membaik, demonstrasi yang belum mereda, dan ancaman kebangkitan ISIS bisa membuat mereka khawatir akan ancaman itu.

Irak bisa belajar dari sejarah masa lalu negara-negara Arab dalam menghadapi Barat.

Namun, butuh kekuatan regional untuk menghadapi ancaman itu, seperti yang dilakukan di masa lalu.

Dalam beberapa dekade terakhir, kehadiran AS di Timur Tengah yang dianggap sebagai 'juru selamat', tak mampu mengeluarkan negara-negara Arab dari keterpurukan, seperti yang terjadi di Irak, Libya, dan Afganistan.

Berdasarkan data BP Statistical Review of World Energy 2019, 48,3 persen cadangan minyak dunia 2018 ada di Timur Tengah dengan jumlah 836,1 juta barrel.

Irak sendiri memiliki cadangan minyak sebesar 147,2 juta barrel, terbanyak ketiga setelah Arab Saudi (297 juta barrel) dan Iran (155,6 juta barrel).

Dengan jumlah tersebut dan persatuan negera-negara Arab, ancaman AS terhadap Irak bisa saja tak terlalu ditakuti.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/01/07/054600965/donald-trump-ancam-jatuhkan-sanksi-kepada-irak-haruskah-ditakuti-

Terkini Lainnya

NASA Perbaiki Chip Pesawat Antariksa Voyager 1, Berjarak 24 Miliar Kilometer dari Bumi

NASA Perbaiki Chip Pesawat Antariksa Voyager 1, Berjarak 24 Miliar Kilometer dari Bumi

Tren
Profil Brigjen Aulia Dwi Nasrullah, Disebut-sebut Jenderal Bintang 1 Termuda, Usia 46 Tahun

Profil Brigjen Aulia Dwi Nasrullah, Disebut-sebut Jenderal Bintang 1 Termuda, Usia 46 Tahun

Tren
Jokowi Teken UU DKJ, Kapan Status Jakarta sebagai Ibu Kota Berakhir?

Jokowi Teken UU DKJ, Kapan Status Jakarta sebagai Ibu Kota Berakhir?

Tren
Ini Daftar Gaji PPS, PPK, KPPS, dan Pantarlih Pilkada 2024

Ini Daftar Gaji PPS, PPK, KPPS, dan Pantarlih Pilkada 2024

Tren
Pengakuan Ibu yang Paksa Minta Sedekah, 14 Tahun di Jalanan dan Punya 5 Anak

Pengakuan Ibu yang Paksa Minta Sedekah, 14 Tahun di Jalanan dan Punya 5 Anak

Tren
Jadi Tersangka Korupsi, Ini Alasan Pendiri Sriwijaya Air Belum Ditahan

Jadi Tersangka Korupsi, Ini Alasan Pendiri Sriwijaya Air Belum Ditahan

Tren
Daftar Lokasi Nobar Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024

Daftar Lokasi Nobar Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024

Tren
Bolehkah Penderita Diabetes Minum Air Tebu? Ini Kata Ahli Gizi UGM

Bolehkah Penderita Diabetes Minum Air Tebu? Ini Kata Ahli Gizi UGM

Tren
Bandara di Jepang Catat Nol Kasus Kehilangan Bagasi Selama 30 Tahun, Terbaik di Dunia

Bandara di Jepang Catat Nol Kasus Kehilangan Bagasi Selama 30 Tahun, Terbaik di Dunia

Tren
La Nina Berpotensi Tingkatkan Curah Hujan di Indonesia, Kapan Terjadi?

La Nina Berpotensi Tingkatkan Curah Hujan di Indonesia, Kapan Terjadi?

Tren
Kasus yang Bikin Bea Cukai Disorot: Sepatu Impor hingga Alat Bantu SLB

Kasus yang Bikin Bea Cukai Disorot: Sepatu Impor hingga Alat Bantu SLB

Tren
Biaya Kuliah Universitas Negeri Malang 2024/2025 Program Sarjana

Biaya Kuliah Universitas Negeri Malang 2024/2025 Program Sarjana

Tren
Hari Pendidikan Nasional 2024: Tema, Logo, dan Panduan Upacara

Hari Pendidikan Nasional 2024: Tema, Logo, dan Panduan Upacara

Tren
Beredar Kabar Tagihan UKT PGSD UNS Capai Rp 44 Juta, Ini Penjelasan Kampus

Beredar Kabar Tagihan UKT PGSD UNS Capai Rp 44 Juta, Ini Penjelasan Kampus

Tren
Semifinal Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024 Hari Ini, Pukul Berapa?

Semifinal Indonesia Vs Uzbekistan Piala Asia U23 2024 Hari Ini, Pukul Berapa?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke