Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pro Kontra Wacana Sertifikasi Pernikahan...

KOMPAS.com - Wacana pemerintah terkait penerapan sertifikasi perkawinan menjadi sorotan di tengah masyarakat.

Selain rawan menyulitkan, program tersebut dinilai juga terlalu jauh menyentuh ranah privat masyarakat.

Diketahui, program tersebut diperuntukkan bagi pasangan yang akan menikah.

Melalui program ini, para calon mempelai akan diwajibkan untuk mengikuti kelas atau bimbingan pranikah untuk memperoleh sertifikat. Sertifikat ini nantinya akan dijadikan sebagai syarat perkawinan.

Melalui kelas bimbingan sertifikasi, calon suami istri akan dibekali pengetahuan tentang kesehatan alat reproduksi, penyakit-penyakit berbahaya yang mungkin terjadi pada pasangan suami istri, hingga masalah seperti stunting.

Melansir dari pemberitaan Kompas.com, Menko PMK Muhadjir Effendy mengatakan bahwa program sertifikasi perkawinan ini baru akan dimulai tahun 2020 dengan lama kelas bimbingan 3 bulan.

Sementara, Deputi VI Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak Kemenko PMK Ghafur Darmaputra menjelaskan program bimbingan pernikahan tersebut masih dalam tahap persiapan.

Wacana sertifikasi perkawinan ini pun menuai pro kontra dari sejumlah pihak.

Berikut sejumlah respons terkait wacana sertifikasi perkawinan yang pertama kali dilontarkan oleh Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Efendy:

1. Wakil Presiden RI

Merespons wacana pemberlakuan sertifikasi pernikahan sebagai syarat menikah, Wakil Presiden Ma'ruf Amin menyatakan bahwa sertifikasi pembekalah pranikah tidak dilakukan untuk mengatur seseorang boleh atau tidak boleh menikah.

Menurutnya, pembekalan dan sertifikasi ini hanya bertujuan untuk memberikan pemahaman membangun rumah tangga yang baik, bukan memutuskan atau melarang orang untuk menikah.

Ma'ruf menyampaikan bahwa sedianya pembekalan pranikah bertujuan memberikan pemahaman kepada warga negara tentang pentingnya membangun rumah tangga yang kuat untuk menghasilkan SDM yang berkualitas.

2. Menteri Agama

Menteri Agama Fachrul Razi turut memberikan komentar mengenai wacana sertifikasi perkawinan sebagai syarat menikah yang dilontarkan Menko PMK Muhadjir Effendy.

Fachrul pun mendukung gagasan ini. Menurutnya, gagasan tersebut sejalan dengan program bimbingan perkawinan (bimwim) yang telah diselenggarakan oleh Kementerian Agama sejak dua tahun terakhir.

Bimbingan perkawinan merupakan revitalisasi kursus pranikah yang sudah ada beberapa tahun sebelumnya. Namun, program ini dinilai kurang efektif dalam membekali calon pengantin.

Fachrul berharap gagasan Menko PMK dapat disinergikan dengan program bimbingan perkawinan sehingga pelaksanannya akan menjadi semakin masif dan efektif.

3. Komnas HAM

Sementara, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik mengatakan bahwa rencana sertifikasi perkawinan ini sebaiknya tidak dijadikan sebagai kewajiban terhadap pasangan yang hendak menikah.

Menurut Ahmad, program ini tidak dapat dijadikan sebagai sesuatu yang bersifat wajib.

Ia berpendapat bahwa lebih baik pemerintah mendorong calon mempelai untuk menjalani program dengan menjelaskan manfaat dari program tersebut.

Namun demikian, Komnas HAM mempersilakan apabila pemerintah merealisasikan rencana tersebut. Akan tetapi, ada syarat-syarat yang diberikan oleh Komnas HAM.

Pertama, program sertifikasi perkawinan dilakukan sepanjang tidak memberatkan calon pengantin.

Kedua, waktu pelaksanaan kelas pranikah harus disepakati bersama antara penyelenggara dengan calon pengantin.

4. Psikolog Keluarga

Sebagaimana dilansir dari pemberitaan Kompas.com, Psikolog Anak dan Keluarga di Lembaga Asesmen dan Intervensi Psikologis Klinik Terpadu Fakultas Psikologi UI Depok, Anna Surti Ariani mengatakan bahwa kebijakan program persiapan perkawinan sebenarnya telah dilakukan di beberapa negara dunia.

Nina menyarankan agar pemerintah melakukan kajian secara terstruktur dan sistematis terlebih dahulu untuk mengetahui program yang efektif diberlakukan di Indonesia.

Menurutnya, kajian ini membutuhkan waktu yang panjang. Untuk itu, jika target diberlakukan adalah tahun 2020, Nina menilai target tersebut terlalu ambisius dan kurang masuk akal.

Sementara, kepada masyarakat, Nina meminta agar tidak asal menolak, tetapi memberikan alasan-alasan yang masuk akal dan logis sebagai masukan bagi pemerintah.

5. Wakil Ketua Komisi VII

Wakil Komisi VII Marwan Dasopang turut mempertanyakan rencana pemerintah pada program sertifikasi pernikahan sebagai salah satu syarat untuk menikah.

Ia berpendapat bahwa pemerintah harusnya tidak masuk dalam ranah privat masyarakat, dalam hal ini, menambah persyaratan pernikahan dalam kelas pranikah.

Menurut Marwan, ada banyak persoalan apabila sertifikasi ini diterapkan. Misalnya, apabila ada pasangan yang tidak lulus kelas pranikah dan tidak mendapat sertifikasi, maka dikhawatirkan akan melakukan perzinaan.

Selain itu, Marwan berpendapat bahwa dengan sertifikasi tersebut pasangan suami-istri akan terhindar dari perceraian.

6. Wakil Ketua Komisi VIII

Selain Marwan, Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan Syadzily juga merespons wacana sertifikasi pernikahan ini.

Ia meminta agar kebijakan baru tidak memberatkan masyarakat untuk melaksanakan pernikahan, terutama dalam segi biaya.

Ace meminta agar prosedur program sertifikasi perkawinan tidak berbelit-belit. Oleh karena itu, ia meminta agar program sertifikasi perkawinan ini harus dikaji kembali, baik dari segi prosedur maupun substansi.

(Sumber: Kompas.com/ Fitria Chusna Farisa, Haryanti Puspa Sari, Nur Rohmi Aida, Ellyvon Pranita, Dani Prabowo | Editor: Krisiandi, Inggried Dwi Wedhaswary, Icha Rastika, Shierine Wangsa Wibawa)

https://www.kompas.com/tren/read/2019/11/17/180509765/pro-kontra-wacana-sertifikasi-pernikahan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke