Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

KPK Fana, Korupsi Abadi (1): Gencar OTT, Pantang Mati Sebelum Ajal

KOMPAS.com - Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mulai berlaku hari ini, Kamis (17/10/2019). Aturan baru ini dipandang banyak pihak melemahkan KPK.

Rancangan undang-undang itu disahkan DPR lewat rapat paripurna pada 17 September 2019 lalu. Presiden punya waktu 30 hari untuk menandatangani sejak hari itu agar undang-undang berlaku.

Nyatanya, presiden tak menandatangani setelah habis 30 hari. Namun sesuai aturan, undang-undang tetap bisa diberlakukan tanpa tanda tangan presiden.

Meski gelombang protes terhadap revisi undang-undang sudah sangat keras, baik pemerintah maupun partai politik di DPR memilih bergeming.

Di sisi lain, menjelang pemberlakuan undang-undang baru, KPK semakin kencang melawan korupsi. Tak kendur meski dirundung duka atas kematian kecilnya.

Dalam 72 jam terakhir sebelum undang-undang berlaku, KPK menangkap Bupati Indramayu Supendi, Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Wilayah XII Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Refly Ruddy Tangkere, dan Wali Kota Medan Dzulmi Eldin.

Pantang mati sebelum ajal

Sepanjang 2019 hingga undang-undang diberlakukan, tercatat KPK menggelar 21 operasi tangkap tangan (OTT).

Paling banyak melibatkan kepala daerah, dengan sembilan di antaranya turut jadi tersangka. Sebelum Bupati Indramayu dan Wali Kota Medan, ada Bupati Lampung Utara dan Bupati Bengkayang.

Kemudian Bupati Muara Enim, Bupati Kudus, Gubernur Kepulauan Riau, Bupati Kepulauan Talaud, dan Bupati Mesuji.

Ada pula empat OTT yang melibatkan Badan Usaha Milik Negara.

Empat pejabat BUMN yang jadi tersangka yakni Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia, Direktur Utama PTPN III, Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II, dan GM Central Maintenance dan Facilities PT Krakatau Steel.

Dari kementerian dan lembaga di bawahnya, ada dua operasi tangkap tangan.

Pertama, Kepala Kantor Imigrasi Klas I Mataram pada 28 Mei 2019 lalu. Kedua, Kepala Balai Pelaksana Jalan Wilayah XII pada 15 Oktober 2019.

Ada juga tiga penegak hukum yang tertangkap hingga Oktober 2019 ini.

Ada Hakim di PN Balikpapan, Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, dan Jaksa di Kejari Yogyakarta dan Surakarta.

Selain itu, DPR sebagai “pencabut nyawa” KPK juga rupanya tak bersih-bersih amat. Ada M Romahurmuziy (Romy). Bowo Sidik Pangarso. dan I Nyoman Dhamantra yang tertangkap tangan.

Di luar operasi tangkap tangan, ada juga tokoh dan pejabat yang jadi tersangka. Ada Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi yang diduga menerima suap untuk bantuan proposal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).

Kasus suap proyek PLTU Riau-1 yang sudah cukup lama disidik KPK, akhirnya menyeret Direktur Utama PLN Sofyan Basir pada April 2019 lalu.

Bekerja seperti biasa

Pelemahan yang akan dirasakan KPK malah membuat lembaga antirasuah ini makin semangat menjelang ajalnya. Tak ada yang bisa dilakukan selain bekerja seperti biasa.

Sebulan lalu, masyarakat bersama pimpinan dan pegawai KPK sudah menggelar aksi berkabung di rumah mereka.

Saat itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode M Syarif mengakui banyak pegawai KPK yang menangis setelah revisi Undang-Undang KPK disahkan DPR.

Laode mengatakan, para pegawai KPK merasa sedih dan kecewa karena revisi UU KPK akan mengubah hal-hal yang dinilai fundamental dalam lembaga antirasuah itu.

"Karyawan KPK agak gloomy dan terus terang banyak yang menangis karena tiba-tiba rumahnya berubah secara fundamental," kata Laode di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (19/9/2019).

Laode mengibaratkan KPK adalah rumah yang dihuni pegawai KPK yang tiba-tiba direnovasi oleh orang lain tanpa persetujuan orang yang tinggal di rumah tersebut.

Sang perenovasi, kata Laode, juga tidak menjelaskan hal-hal apa saja yang akan direnovasi dan meminta si penghuni rumah untuk mau tidak mau menerima hasil renovasi.

"Nanti renovasinya seperti apa atau saya ganti dengan rumah baru, enggak usalah (tahu). Nanti kita bikin renovasi, nanti kamu tinggal di tempat yang baru," ujar Laode menggambarkan proses revisi UU KPK.

Namun demikian, Laode menegaskan, KPK tetap menjalankan tugas-tugasnya seperti biasa selepas revisi UU KPK.

"Poses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tetap berjalan. Semoga tidak ada kendala yang banyak," kata Laode.

Nah, bagaimana sebenarnya revisi UU KPK bisa menjadi kendala pemberantasan korupsi? Pada bagian mana KPK dilemahkan oleh undang-undang baru ini.


Bersambung. Baca artikel selanjutnya.
KPK Fana, Korupsi Abadi (2): Pasal-pasal yang Melemahkan KPK

https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/17/121359765/kpk-fana-korupsi-abadi-1-gencar-ott-pantang-mati-sebelum-ajal

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke