Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perang Padri, Perang Saudara yang Berujung Melawan Belanda

Kompas.com - 01/03/2024, 15:00 WIB
Yulisha Kirani Rizkya Pangestuti,
Widya Lestari Ningsih

Tim Redaksi

Pada tahun 1821, kaum Adat yang tertekan meminta bantuan dari pemerintah kolonial Belanda.

Baca juga: Harimau Nan Salapan, Puritan Pemimpin Kaum Padri

Alhasil, pada 10 Februari 1821, Sultan Alam Bagagarsyah, raja terakhir Pagaruyung, terpaksa menandatangani perjanjian dengan Belanda, dan peperangan semakin besar.

Pada 4 Maret 1822, pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil mengusir kaum Padri keluar dari Pagaruyung.

Setelah itu, Belanda mendirikan benteng pertahanan di Batusangkar, yang diberi nama Fort Van der Capellen, sementara kaum Padri berkumpul dan bertahan di Lintau.

Pada 10 Juni 1822, pasukan Belanda diadang oleh kaum Padri di Tanjung Alam, tetapi berhasil meneruskan pergerakan menuju Luhak Agam.

Menjelang akhir tahun, pasukan Belanda terpaksa mundur kembali ke Batusangkar, karena tekanan kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Nan Renceh.

Pada 13 April 1823, setelah mendapat tambahan pasukan, Letnan Kolonel Raaff mencoba menyerang Lintau lagi, tetapi kaum Padri melawan dengan gigih. Alhasil, pasukan Belanda terpaksa mundur kembali ke Batusangkar.

Baca juga: Benteng Fort de Kock, Pertahanan Belanda Selama Perang Padri

Pada 15 November 1825, disepakati Perjanjian Masang, yang menandai dimulainya periode gencatan senjata antara pasukan Belanda dan kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol.

Gencatan senjata dilakukan karena Belanda mengalami kesulitan akibat berbagai perang yang harus dihadapi, baik di Eropa maupun di Jawa (Perang Diponegoro).

Perang saudara menjadi perang kolonial

Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol, sebagai salah satu tokoh Perang Padri, berusaha memperkuat kembali pasukannya sekaligus mengajak kaum Adat bekerja sama.

Langkah tersebut membuahkan hasil, dan pada akhir 1832, kedua kubu melakukan persetujuan di lereng Gunung Tandikat.

Persetujuan itu membuat Sultan Alam Bagagarsyah ditangkap oleh Belanda pada 1833 atas tuduhan pengkhianatan dan dibuang ke Jawa.

Baca juga: Mengapa Agama Menjadi Faktor Sentral dalam Perang Padri?

Tidakan Belanda terhadap sultan membuat kaum Adat marah dan akhirnya benar-benar bangkit melawan penjajah.

Akhirnya, tercapai kesepakatan antara kaum Padri dan kaum Adat yang dikenal sebagai Plakat Puncak Pato, di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar.

Dalam kesepakatan ini dinyatakan bahwa, "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah", yang berarti "adat Minangkabau berdasarkan agama Islam, dan agama Islam berdasarkan Al Quran".

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com