Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perang Padri, Perang Saudara yang Berujung Melawan Belanda

Kompas.com - 01/03/2024, 15:00 WIB
Yulisha Kirani Rizkya Pangestuti,
Widya Lestari Ningsih

Tim Redaksi

KOMPAS.comPerang Padri adalah konflik yang terjadi di wilayah Minangkabau, Sumatera Barat, pada abad ke-19.

Perang ini mulanya melibatkan kelompok masyarakat yang menegakkan syariat Islam, atau dikenal sebagai kaum Padri, dan kaum Adat.

Perang Padri berlangsung antara tahun 1803 hingga 1837, dan merupakan salah satu pertempuran bersejarah bagi masyarakat Sumatera Barat.

Terlebih, Perang Padri yang terjadi sejak 1821 sampai 1837, bukan lagi perang saudara di antara dua golongan masyarakat Minangkabau saja, tetapi berubah menjadi perang kolonial.

Berikut ini sejarah Perang Padri.

Baca juga: Mengapa Perang Padri Berubah Menjadi Perang Kolonial?

Penyebab terjadinya Perang Padri

Penyebab Perang Padri adalah perbedaan prinsip mengenai agama Islam antara kaum Padri dan kaum Adat.

Kaum Padri memiliki visi untuk menyucikan ajaran Islam di Minangkabau. Sedangkan kaum Adat adalah golongan masyarakat di Minangkabau yang masih melestarikan adat dan memegang nilai-nilai tradisi dari leluhur.

Kaum Adat, termasuk yang sudah menjadi Muslim, masih melakukan beragam tradisi yang dilarang oleh agama Islam, seperti sabung ayam, minum minuman keras, berjudi, dan menggunakan hukum matriarkat dalam pembagian warisan.

Kaum Padri pun meminta agar kaum Adat yang beragama Islam segera meninggalkan kebiasaan atau tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam, tetapi mereka ingin memegang teguh tradisi adat yang telah ada sejak lama.

Kaum Adat melihat gerakan kaum Padri sebagai ancaman terhadap identitas dan keberlangsungan budaya Minangkabau.

Baca juga: Mengapa Perang Padri Berlangsung Lama?

Permasalahan itu sempat diupayakan untuk diselesaikan secara damai melalui perundingan, tetapi selalu gagal.

Alhasil, meletuslah Perang Padri pada tahun 1803, di mana kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan dan kaum Adat dipimpin oleh Sultan Arifin Muningsyah, yang merupakan Raja Pagaruyung.

Jalannya Perang Padri

Perang Padri antara kaum Padri dan kaum Adat mencapai puncaknya pada tahun 1815.

Saat itu, kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung, yang memicu peperangan di Koto Tangah.

Serangan tersebut mengakibatkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa mengungsi dan meninggalkan ibu kota kerajaan.

Pada tahun 1821, kaum Adat yang tertekan meminta bantuan dari pemerintah kolonial Belanda.

Baca juga: Harimau Nan Salapan, Puritan Pemimpin Kaum Padri

Alhasil, pada 10 Februari 1821, Sultan Alam Bagagarsyah, raja terakhir Pagaruyung, terpaksa menandatangani perjanjian dengan Belanda, dan peperangan semakin besar.

Pada 4 Maret 1822, pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil mengusir kaum Padri keluar dari Pagaruyung.

Setelah itu, Belanda mendirikan benteng pertahanan di Batusangkar, yang diberi nama Fort Van der Capellen, sementara kaum Padri berkumpul dan bertahan di Lintau.

Pada 10 Juni 1822, pasukan Belanda diadang oleh kaum Padri di Tanjung Alam, tetapi berhasil meneruskan pergerakan menuju Luhak Agam.

Menjelang akhir tahun, pasukan Belanda terpaksa mundur kembali ke Batusangkar, karena tekanan kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Nan Renceh.

Pada 13 April 1823, setelah mendapat tambahan pasukan, Letnan Kolonel Raaff mencoba menyerang Lintau lagi, tetapi kaum Padri melawan dengan gigih. Alhasil, pasukan Belanda terpaksa mundur kembali ke Batusangkar.

Baca juga: Benteng Fort de Kock, Pertahanan Belanda Selama Perang Padri

Pada 15 November 1825, disepakati Perjanjian Masang, yang menandai dimulainya periode gencatan senjata antara pasukan Belanda dan kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol.

Gencatan senjata dilakukan karena Belanda mengalami kesulitan akibat berbagai perang yang harus dihadapi, baik di Eropa maupun di Jawa (Perang Diponegoro).

Perang saudara menjadi perang kolonial

Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol, sebagai salah satu tokoh Perang Padri, berusaha memperkuat kembali pasukannya sekaligus mengajak kaum Adat bekerja sama.

Langkah tersebut membuahkan hasil, dan pada akhir 1832, kedua kubu melakukan persetujuan di lereng Gunung Tandikat.

Persetujuan itu membuat Sultan Alam Bagagarsyah ditangkap oleh Belanda pada 1833 atas tuduhan pengkhianatan dan dibuang ke Jawa.

Baca juga: Mengapa Agama Menjadi Faktor Sentral dalam Perang Padri?

Tidakan Belanda terhadap sultan membuat kaum Adat marah dan akhirnya benar-benar bangkit melawan penjajah.

Akhirnya, tercapai kesepakatan antara kaum Padri dan kaum Adat yang dikenal sebagai Plakat Puncak Pato, di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar.

Dalam kesepakatan ini dinyatakan bahwa, "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah", yang berarti "adat Minangkabau berdasarkan agama Islam, dan agama Islam berdasarkan Al Quran".

Pernyataan tersebut menjadi penegasan revolusi Islam dalam adat Minangkabau.

Plakat Puncak Pato menandai akhir perang saudara antara kaum Padri dan Adat, dan dimulainya perang melawan Belanda.

Motivasi kuat Belanda untuk mengendalikan perkebunan kopi di pedalaman Minangkabau mendorong mereka melanggar perjanjian sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek.

Selain itu, Belanda juga mendirikan benteng Fort de Kock di Bukittinggi untuk memperkuat posisinya.

Baca juga: Strategi Belanda dalam Perang Padri

Serangan yang dilancarkan warga Minangkabau dihalau Belanda dengan mendatangkan pasukan dari Jawa dan Maluku.

Belanda juga menutup pesisir barat yang merupakan garis bantuan ekonomi dan pesisir timur yang merupakan pintu gerbang perdagangan Minangkabau.

Secara perlahan, Belanda memperluas pengaruhnya dan merebut benteng pertahanan Tuanku Imam Bonjol pada 1837.

Setelah sempat lolos, Tuanku Imam Bonjol ditipu dan ditangkap, kemudian diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat.

Pasca-pengasingan Tuanku Imam Bonjol, Perang Padri masih sempat dilanjutkan dan dipimpin oleh Tuanku Tambusai.

Akan tetapi, semua perlawanan rakyat Minangkabau berhasil ditumpas oleh Belanda.

Jatuhnya benteng terakhir kaum Padri pimpinan Tuanku Tambusai di Dalu-Dalu (Rokan Hulu), pada 28 Desember 1838, menandai akhir Perang Padri.

Perang Padri berakhir dengan kemenangan Belanda, sementara Tuanku Tambusai bersama pengikutnya terpaksa pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya.

Kerajaan Pagaruyung pun berada di bawah kendali Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

 

Referensi:

  • Radjab, M. (1964). Perang Paderi di Sumatera Barat, 1803-1838. Jakarta: Balai Pustaka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com