KOMPAS.com - Perang Padri terjadi di Sumatera Barat antara tahun 1803 hingga 1838.
Pada awalnya, perang ini hanya melibatkan dua golongan masyarakat Minangkabau, yakni kaum Adat dan kaum Padri.
Namun, dalam perkembangannya, Belanda mulai ikut campur hingga Perang Padri berubah menjadi perang kolonial.
Dalam Perang Padri, agama menjadi faktor penting yang membuat peperangan berkecamuk.
Lantas, mengapa faktor agama menjadi faktor sentral dalam Perang Padri?
Baca juga: Mengapa Perang Padri Berubah Menjadi Perang Kolonial?
Alasan mengapa faktor agama menjadi faktor sentral dalam Perang Padri adalah karena peperangan ini dipicu oleh perbedaan prinsip mengenai agama antara kaum Padri dan kaum Adat.
Kaum Padri adalah kelompok masyarakat yang menjunjung tinggi syariat Islam.
Bagi kaum Padri, ajaran Islam harus dilaksanakan secara menyeluruh dan meninggalkan adat atau budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Sedangkan kaum Adat adalah golongan masyarakat di Minangkabau yang masih melestarikan adat dan memegang nilai-nilai tradisi dari leluhur.
Kaum Adat, termasuk yang sudah masuk Islam, masih melakukan sabung ayam, minum minuman keras, dan berjudi.
Padahal, bagi umat Muslim, kebiasaan-kebiasaan tersebut dilarang oleh agama Islam.
Kaum Padri pun meminta agar kaum Adat yang beragama Islam segera meninggalkan kebiasaan atau tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam, tetapi tidak dilakukan.
Permasalahan itu sempat diupayakan untuk diselesaikan secara damai melalui perundingan, tetapi selalu gagal.
Alhasil, meletuslah Perang Padri pada 1803, di mana kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan dan kaum Adat dipimpin oleh Sultan Arifin Muningsyah, yang merupakan Raja Pagaruyung.
Baca juga: Siapakah Kaum Adat dan Kaum Padri?
Pada awalnya, Perang Padri bisa disebut sebagai perang saudara, karena dalam peperangan ini melibatkan orang-orang Minang dan Mandailing.
Selama perang, kaum Padri menghadapi perlawanan sengit di Tanah Datar dan di dataran-dataran rendah.
Kaum Padri, yang berusaha memurnikan ajaran Islam pun mampu meraih kemenangan.
Kendati demikian, kemenangan itu tidak membuat peperangan usai, karena kaum Adat yang merasa semakin terdesak akhirnya terpaksa bekerja sama dengan Belanda dan memperpanjang berlangsungnya perang hingga 1838.
Referensi: