KOMPAS.com - Perang Padri yang terjadi di wilayah Sumatera Barat berlangsung sekitar 35 tahun, yakni sejak 1803 hingga 1838.
Mulanya, Perang Padri adalah perang saudara antara kaum Padri dengan kaum Adat.
Pada 1820-an, Belanda mulai terlibat setelah dimintai bantuan oleh Raja Pagaruyung, yang mewakili kaum Adat.
Perang Padri bahkan menjadi salah satu perang yang cukup lama dihadapi oleh Belanda semasa pendudukannya di Indonesia.
Lantas, mengapa Perang Padri berlangsung sangat lama?
Baca juga: Mengapa Agama Menjadi Faktor Sentral dalam Perang Padri?
Perang Padri meletus pada 1803, bermula dari perselisihan dua golongan masyarakat Minangkabau, yakni kaum Adat dan kaum Padri.
Kaum Padri, yang bertujuan untuk memurnikan pelaksanaan agama Islam, mengutuk kebiasaan buruk di masyarakat yang bertentangan dengan ajaran agama.
Kebiasaan buruk yang dimaksud seperti minum tuak, berjudi, menyabung ayam, dan perbuatan tidak baik lainnya.
Karena upaya penyelesaian secara damai melalui perundingan selalu gagal, terjadilah perang antara kaum Padri yang dipimpin oleh Harimau Nan Salapan dan kaum Adat dipimpin oleh Sultan Arifin Muningsyah, yang merupakan Raja Pagaruyung.
Pada pertengahan 1810-an, kaum Adat mulai terdesak. Alhasil, pada 10 Februari 1821, Sultan Alam Bagagarsyah, raja terakhir Pagaruyung, terpaksa menandatangani perjanjian dengan Belanda.
Keterlibatan Belanda membuat perang semakin besar.
Baca juga: Sebab Terjadinya Perang Padri
Pada perang ini, Belanda menggunakan strategi Benteng Stelsel atau membangun benteng pertahanan dan pos militer guna mempersempit pergerakan musuhnya.
Salah satu benteng pertahanan yang dibangun adalah Benteng Van der Capellen di Batusangkar.
Selain itu, pada masa Gubernur Jenderal Van den Bosch, Belanda juga menggunakan strategi Winning the Heart, untuk mengambil hati para penduduk dan melakukan diplomasi kepada kaum Padri supaya tidak terjadi peperangan berkelanjutan.
Namun, strategi tersebut kurang efektif, sehingga peperangan terus berjalan.