Pada periode selanjutnya, Toko Merah dibeli oleh Oey Liauw Kong, untuk digunakan sebagai toko sekaligus tempat tinggal.
Sepeninggal Oey Liauw Kong, fungsi bangunan ini dipertahankan sebagai toko oleh keturunannya, Oey Hok Tjiang dan Oey Kim Tjiang.
Pada sekitar periode 1920 hingga akhir 1930-an, Toko Merah dijadikan kantor untuk Bank voor Indie.
Pada 1939, Toko Merah menjadi kantor perusahaan asuransi dan industri milik Belanda, Jacobson van den Berg (Jacob Berg).
Ketika Jepang menginvasi Batavia, pejabat Jacob Berg dibantai dan Toko Merah diduduki sebagai dinas kesehatan tentara mereka.
Baca juga: Sejarah Istana Mini di Banda Neira
Pada Agustus 1945, usai Jepang menyerah, Toko Merah ditempati Sekutu untuk sementara.
Setelah itu, Toko Merah digunakan sebagai kantor NV Nigeo Export, kemudian kembali ditempati oleh Jacob Berg.
Pada akhir 1950-an, terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda, dan Serikat Buruh Jacob Berg mengambil alih perusahaan tempat mereka bekerja.
Setelah dinasionalisasi, Toko Merah menjadi kantor beberapa perusahaan BUMN.
Mengingat tingginya nilai sejarah Toko Merah, bangunan peninggalan kolonial ini ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya pada 1993.
Sejak 2003, Toko Merah dikelola PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), perusahaan BUMN yang bergerak di bidang perdagangan dalam negeri dan internasional.
PPI bekerja sama dengan Dinas Museum dan Pemugaran DKI Jakarta untuk merenovasi dan melakukan perawatan terhadap bangunan Toko Merah.
Kini, sebagian bangunan Toko Merah disulap menjadi kafe, yang dapat disinggahi para pelancong yang menikmati keindahan kawasan Kota Tua.
Baca juga: Mengapa Alhambra Disebut Istana Merah?
Toko Merah adalah bangunan dua lantai yang kembar. Disebut demikian karena terdiri dari dua bagian rumah yang berada di bawah satu atap dan memiliki dua pintu masuk.
Bangunan ini bergaya Boer, yang terdiri dari dua lantai dan letaknya berimpitan dengan bangunan di sebelahnya, tanpa halaman depan.