KOMPAS.com - Pada 1512, bangsa Portugis untuk pertama kalinya menginjakkkan kaki di Kepulauan Maluku, tepatnya di Ternate.
Saat itu, Ternate diperintah oleh Sultan Bayanullah (1500-1521), yang disebut Abu Lais atau Kaicili Leliatu dalam sumber-sumber Portugis.
Selama berabad-abad, Ternate adalah pusat perdagangan cengkih yang penting di Maluku.
Bangsa Portugis, yang mengincar rempah-rempah Maluku, diterima dengan baik oleh Sultan Bayanullah.
Bahkan sultan bersedia menyediakan cengkih asalkan bangsa Portugis mau membangun benteng.
Saat itu, aliansi dianggap saling menguntungkan, karena peralatan militer dan kapal besar bangsa Portugis dapat mendukung Ternate untuk mengontrol perdagangan rempah-rempah di Maluku dari saingan mereka.
Namun pada perkembangannya, kestabilan kehidupan politik dan maritim Kerajaan Ternate terancam oleh keberadaan Portugis.
Baca juga: Sultan Bayanullah, Raja Ternate yang Menerima Portugis
Oleh karena itu, Sultan Ternate berubah sikap dan berupaya mengusir Portugis. Kerajaan Ternate berhasil mengusir Portugis pada tahun 1577.
Tokoh dari Kerajaan Ternate yang pada 1577 berhasil mengusir Portugis adalah Sultan Baabullah.
Sejak 1522, terjalin hubungan dagang, khususnya perdagangan cengkih, antara Portugis dan Ternate.
Namun, hubungan dagang menjadi rusak karena Portugis senantiasa ingin mendominasi Ternate.
Keserakahan Portugis yang ditunjukkan dengan mematok rendah harga cengkih, membuat rakyat Ternate bahkan Maluku sengsara.
Praktik monopoli juga dilakukan dengan melarang penduduk berdagang rempah dengan bangsa lain dan menangkap kapal-kapal dagang penduduk.
Baca juga: Penyebab Perlawanan Ternate terhadap Portugis
Selain itu, latar belakang perlawanan Ternate terhadap Portugis adalah bangsa Portugis memicu konflik agama di Ternate dan mencampuri urusan internal kerajaan, termasuk dalam hal pengangkatan sultan.
Pada masa Sultan Khairun (1535-1570), perlawanan Ternate terhadap Portugis dimulai.