KOMPAS.com - Dalam perjalanan menuju kemerdekaan Indonesia, sebuah kelompok kecil yang memegang peranan sentral muncul di panggung sejarah, yakni Panitia Sembilan.
Panitia Sembilan terbentuk di bawah naungan BPUPKI yang dipimpin oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat.
Panitia ini menjadi perancang utama dalam merumuskan bentuk negara dan dasar filsafatnya.
Inilah kisah menarik tentang bagaimana kebijakan dan visi Panitia Sembilan yang menjadi pilar utama bagi perjalanan Indonesia menuju kemerdekaannya pada 1945.
Baca juga: Profil Panitia Sembilan
Latar belakang pembentukan Panitia Sembilan bermula dari perdebatan dan ketidaksepakatan mengenai dasar negara Indonesia pada masa persiapan kemerdekaan.
Sebelum pembentukan Panitia Sembilan, terjadi perdebatan antara wakil-wakil umat Islam dan pemimpin nasionalis mengenai karakter negara yang akan dibentuk.
Wakil-wakil umat Muslim mengusulkan agar Islam menjadi dasar filosofis negara.
Sementara itu, pemimpin nasionalis yang cenderung menganut pandangan nasionalisme menolak membawa agama ke dalam masalah kenegaraan.
Ketidaksepakatan ini menciptakan kekosongan dalam merumuskan dasar negara yang diperlukan untuk kemerdekaan.
Hingga akhir sidang pertama BPUPKI pada 1 Juni 1945, belum tercapai kesepakatan mengenai rumusan dasar negara.
Menyikapi situasi ini, pada 22 Juni 1945, di gedung kantor Djawa Hokokai, sejumlah anggota BPUPKI membentuk panitia kecil yang kemudian disebut Panitia Sembilan.
Pembentukan panitia ini bertujuan untuk menyusun rumusan dasar negara dan mengatasi kebuntuan dalam pembahasan di BPUPKI.
Panitia Sembilan menjadi respons terhadap kebutuhan mendesak untuk mencapai kesepakatan mengenai dasar negara yang mencerminkan pluralitas masyarakat Indonesia.
Anggotanya ditugaskan untuk mengumpulkan dan menyelidiki usul-usul terkait perumusan dasar negara guna membahasnya pada sidang BPUPKI selanjutnya.
Baca juga: Perbedaan Panitia Kecil dan Panitia Sembilan
Panitia Sembilan terdiri dari beragam tokoh yang mewakili golongan Islam dan golongan nasionalis. Berikut adalah daftar anggota Panitia Sembilan:
Panitia Sembilan memiliki tugas merumuskan dasar negara Indonesia yang baru merdeka.
Mereka tidak hanya membahas dan merumuskan, tetapi juga mengumpulkan berbagai usul dan suara peserta sidang BPUPKI serta menciptakan ruang partisipasi yang inklusif.
Dalam rapat di gedung Jawa Hokokai, Panitia Sembilan mengajukan usul kepada badan penyelidik terkait, yang kemudian menentukan bentuk negara, menyusun hukum dasar, dan menangani aspek kebangsaan serta keuangan.
Mereka juga mendesak pemerintah Jepang dan BPUPKI untuk segera menyelenggarakan kemerdekaan Indonesia sesuai dengan hukum dasar yang telah ditetapkan oleh badan penyelidik, serta melantik pemerintah nasional.
Pada 22 Juni 1945, panitia menggelar rapat di kediaman Ir. Soekarno dan menghasilkan rumusan sebagai tujuan negara Indonesia merdeka.
Hasil rapat tersebut adalah Piagam Jakarta yang menegaskan prinsip-prinsip dasar negara, yakni:
Nama Piagam Jakarta diusulkan oleh Moh Yamin dan Soekarno membacakannya pada 10 Juli 1945 pada sidang BPUPKI kedua.
Naskah tersebut kemudian diterima oleh BPUPKI untuk dijadikan Rancangan Mukadimah Hukum Dasar Negara Indonesia Merdeka, tepatnya pada 14 Juli 1945.
Baca juga: Panitia Sembilan: Anggota, Tugas, dan Kontribusinya
Pada sore hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, terjadi revisi dalam Piagam Jakarta.
Mohammad Hatta menerima kunjungan perwakilan dari Indonesia bagian timur yang mayoritas beragama Non-Muslim menyuarakan keberatan terhadap kalimat dalam Piagam Jakarta yang berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Mendengar keberatan ini, Mohammad Hatta mengambil langkah cepat dengan mengundang beberapa tokoh, seperti KH Wahid Hasyim, Mr Kasman Singodimejo, Ki Bagus Hadikusumo, dan Teuku Mohammad Hasan untuk melakukan rapat sebelum sidang PPKI dimulai.
Setelah berdiskusi, mereka mencapai kesepakatan untuk menghapus kalimat "menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya", sehingga sila pertama menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".
Referensi: