Saat itu, perusahaan Belanda sedang membutuhkan banyak lahan dan ingin membelinya dengan harga murah.
Perusahaan Belanda kemudian menugaskan carik Rembang, yang berhasil mendapatkan lahan murah menggunakan cara kekerasan kepada rakyat.
Tidak ingin rakyat sengsara, Pak Sakera melakukan perlawanan dan karena itu ia menjadi buronan pemerintah.
Pak Sakera akhirnya tertangkap dan dijebloskan ke penjara di Bangil, Pasuruan.
Baca juga: Punden Janjang dan Tradisi Manganan Janjang di Blora
Ketika di penjara, istri Pak Sakera yang bernama Marlena direbut oleh Brodin.
Mendengar kabar itu, Pak Sakera kabur dari penjara untuk membunuh Brodin.
Selain itu, Pak Sakera membalas dendam kepada banyak orang, termasuk carik Rembang, para petinggi perkebunan, dan kepala polisi Bangil.
Namun, pemerintah dapat menjebak Pak Sakera dan segera mengeksekusinya.
Sejak peristiwa itu, orang-orang mulai berani melakukan perlawanan dengan berbekal senjata celurit, yang dianggap Pak Sakera sebagai simbol perlawanan.
Belanda menggunakan cara licik untuk menghadapi pemberontakan, yakni dengan mengutus blater (jagoan desa yang secara sosial-budaya amat ditakuti), yang juga bersenjata celurit.
Dari situlah akar sejarah carok, yang melibatkan pertarungan celurit antara sesama orang pribumi.
Baca juga: Upacara Labuhan, Tradisi Panembahan Senopati yang Masih Lestari
Pada saat carok, mereka tidak menggunakan senjata pedang atau keris sebagaimana yang dilakukan masyarakat Madura zaman dulu, tetapi menggunakan celurit.
Celurit sengaja diberikan Belanda kepada para blater untuk merusak citra Pak Sakera.
Celurit digunakan Pak Sakera sebagai simbol perlawanan rakyat terhadap penjajah, tetapi oleh Belanda celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat.
Adu domba Belanda tersebut berhasil merasuki sebagian masyarakat Madura, bahwa bila ada persoalan, utamanya terkait perselingkuhan, perebutan tanah, dan masalah lain yang menyangkut harga diri, selalu diselesaikan dengan jalan carok.
Carok dalam bahasa Kawi artinya perkelahian. Pada perkembangannya, carok merujuk pada pertarungan atas nama harga diri, yang dilakukan oleh orang Madura dengan senjata berupa celurit.
Setelah sekian tahun Belanda meninggalkan Indonesia, carok masih menjadi tradisi yang "dilestarikan" sebagian masyarakat Madura.
Referensi: