Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Agama Kristen di Korea Selatan

Kompas.com - 14/03/2023, 19:00 WIB
Widya Lestari Ningsih

Penulis

KOMPAS.com - Kristen merupakan agama yang paling banyak dipeluk oleh masyarakat Korea Selatan (Korsel).

Berdasarkan sensus Badan Statistik Korea tahun 2016, jumlah pemeluk agama Kristen (Katolik dan Protestan) mencapai 13,5 juta orang dari 51,5 juta populasi Korea Selatan.

Agama Buddha, yang masuk ke Korsel sejak abad ke-4, menjadi agama terbesar kedua dengan jumlah pengikut mencapai 7,6 juta orang.

Pada awalnya, Kristen tidak lantas diterima oleh masyarakat Korsel yang selama berabad-abad hidup di bawah pengaruh Shamanisme, Buddhisme, dan Konfusianisme.

Dalam perkembangannya, ajaran Kristen berasimilasi dengan nilai-nilai dari sistem kepercayaan tradisional Korea dan menjadi agama terbesar di Negeri Ginseng.

Berikut ini sejarah singkat agama Kristen di Korea Selatan.

Baca juga: Agama Apa Saja yang Ada di Korea Selatan?

Masuknya agama Kristen di Korsel

Agama Kristen baru masuk di Korea Selatan pada sekitar awal abad ke-17.

Secara historis, rakyat Korea Selatan hidup di bawah pengaruh Shamanisme, Buddhisme, dan Konfusianisme, yang telah membentuk cara berpikir dan tingkah laku masyarakat.

Konfusianisme diadopsi sebagai ideologi utama oleh Dinasti Joseon (1392-1910), yang menekankan kode etik kesetiaan dan penghormatan leluhur untuk mengatur tata krama sehari-hari dan budaya masyarakat.

Ketidakpuasan terhadap ideologi saat itu membuka jalan bagi masuknya ajaran Kristen di Korea Selatan.

Pada 1593, Pastor Yesuit Gregorious de Cespedes tiba di Korea (Joseon).

Saat itu, ia hanya bertugas mengajar agama di kalangan ekspatriat Jepang, karena ada larangan menyebarkan ajaran Kristen kepada orang Korea.

Baca juga: Kenapa di Korea Selatan Ada Banyak Sekte Sesat?

Satu dekade kemudian, diplomat Korea Yi Kwangjong, kembali dari Beijing membawa atlas dunia dan beberapa buku teologi yang ditulis oleh misionaris Yesuit, Matteo Ricci.

Buku-buku Ricci langsung memicu kontroversi, dan terus mendapat kritik dari para cendekiawan Joseon selama dua abad berikutnya.

Di tengah situasi itu, muncul cendekiawan Silhak, sebuah kelompok reformasi sosial Konfusianisme di Korea yang tertarik dengan nilai-nilai egalitarian Kristen.

Pada paruh kedua abad ke-18, banyak cendekiawan Silhak yang menjadi pemeluk Katolik.

Umat Katolik dari kalangan pribumi Korea umumnya memperdalam ajaran agamanya dari buku-buku yang dibawa dari China.

Pada 1784, gereja Katolik pertama di Korea didirikan oleh putra diplomat yang bernama Yi Sung Hun, yang telah dibaptis selama perjalanannya ke Beijing.

Lokasi gereja tersebut berada di Pyeongyang, yang saat ini menjadi ibu kota Korea Utara.

Baca juga: Mengapa Orang Korea Selatan Banyak yang Percaya Sekte Sesat?

Penganiayaan umat Katolik oleh Dinasti Joseon

Larangan bagi umat Kristen terhadap segala bentuk aktivitas budaya pemujaan leluhur bertentangan dengan kepercayaan serta tradisi Konfusianisme yang dijunjung tinggi dan telah mengakar kuat pada masyarakat Korea.

Alhasil, agama Katolik dipandang sebagai ancaman bagi keutuhan masyarakat Korea.

Selama abad ke-19, banyak umat Katolik dan pastor yang dianiaya, dibunuh, atau dibuang atas perintah para penguasa Dinasti Joseon.

Umat Katolik yang mencari bantuan dari luar negeri untuk mendapatkan kebebasan beragama, dihukum sebagai pengkhianat.

Penumpasan umat Katolik juga menewaskan pastor Katolik kelahiran Korea pertama, Andrew Kim Taegon.

Ia dipenggal pada 1846, di usianya yang masih 25 tahun, karena terus menyebarkan ajaran agamanya.

Pembantaian umat Katolik terbesar terjadi pada 1866 di bawah Daewongun, yang menjabat sebagai wali Raja Gojong.

Peristiwa tersebut menewaskan sembilan misionaris Perancis dan ribuan umat Katolik di Korea.

Baca juga: Daftar Dinasti yang Pernah Berkuasa di Korea

Masuknya Protestan di Korea

Di tengah situasi mencekam akibat pembantaian umat Katolik, datang misionaris Protestan pertama di Korea, Robert Jermain Thomas (1839-1866).

Kedatangan Thomas didorong oleh pedagang Korea di Beijing, yang bercerita bahwa umat Katolik di negerinya banyak yang tidak memiliki Alkitab.

Pemeluk Kristen Protestan paling awal di Korea umumnya adalah orang-orang yang mendapat Alkitab dari Thomas.

Pada 1882, Amerika Serikat berusaha melindungi para misionaris dari pembantaian dengan memasukkan klausul perlindungan bagi misionaris mereka dalam Perjanjian Persahabatan dan Perdagangan dengan Korea.

Perjanjian tersebut membawa hasil menggembirakan dan para misionaris Protestan dari AS pun berdatangan ke Korea.

Namun, mereka hanya diperkenakan menjadi tenaga medis dan pengajar, karena Dinasti Joseon masih melarang penyebaran agama Kristen.

Baca juga: Raja Jungjong, Reformis dari Joseon

Gereja Injili Sepenuh Yoido di Seoul, Korea Selatan.Dok. Gereja Injili Sepenuh Yoido Gereja Injili Sepenuh Yoido di Seoul, Korea Selatan.
Horace Allen, adalah misionaris pertama yang membuat Raja Gojong terkesan dengan teknik pengobatannya yang tidak dikenal di Korea.

Allen kemudian diizinkan membuka fasilitas pengobatan ala Barat, yang kemudian berkembang menjadi institusi medis modern pertama di Korea dengan nama Rumah Sakit Severance, yang saat ini beralamat di Seoul, Korea Selatan.

Karena dilarang menyebarkan ajaran agama, misionaris Protestan awalnya lebih banyak berperan dalam perkembangan dunia medis dan pendidikan di Korea.

Sejumlah universitas ternama Korea saat ini bahkan berakar dari sekolah para misionaris AS dari abad ke-19.

Memasuki abad ke-20, penyebaran Protestan mulai bisa masuk ke sekolah-sekolah.

Dari situlah, Kristen Protestan berkembang di masyarakat dan mengalahkan pengaruh Katolik yang lebih dulu masuk di Korea.

Baca juga: Sejarah Islam di Korea

Perkembangan pesat agama Kristen di Korea

Pada 1910, Korea dikuasai oleh Jepang. Selama pendudukan Jepang yang berlangsung hingga 1945, umat Kristen diidentikan sebagai pejuang kemerdekaan Korea.

Pada 1919, umat Katolik mendirikan Ulmindan, sebuah gerakan pro-kemerdekaan.

Selain itu, penolakan umat Kristen untuk menyembah Kaisar Jepang, menjadi katalis utama yang menghubungkan ajaran Kristen dengan nasionalisme Korea.

Meski penolakan umat Kristen didasari alasan teologis, bukan politik, mereka menjadi simbol perlawanan dan bangkitnya nasionalisme Korea.

Sebelum Korea terpecah dua dalam Perang Korea (1950-1953), sekitar 60 persen umat Kristen tinggal di Utara.

Semasa perang, mereka banyak yang melarikan diri ke Selatan dan setelah itu agama Kristen terus berkembang pesat di Korea Selatan.

Namun, pada era ini pula, sekte-sekte yang berdasar agama Kristen bermunculan di Korea Selatan.

Saat ini, Kristen menjadi agama terbesar di Korea Selatan. Dari 51,5 juta populasi Korsel, 9,6 juta di antaranya adalah pemeluk Protestan dan 3,9 juta lainnya adalah umat Katolik.

Sementara itu, lebih dari setengah populasi negara Korea Selatan tercatat tidak terafiliasi dengan agama atau tidak beragama.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com