Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Biografi Sri Sultan Hamengkubuwono VIII

Kompas.com - 20/12/2022, 20:00 WIB
Widya Lestari Ningsih

Penulis

KOMPAS.com - Sri Sultan Hamengkubuwono VIII adalah Sultan Yogyakarta kedelapan yang memerintah antara 1921-1939.

Pada 8 Februari 1921, ia dikukuhkan sebagai penguasa Kesultanan Yogyakarta setelah melalui polemik yang cukup panjang.

Selama 18 tahun memerintah, Sri Sultan Hamengkubuwono VIII meneruskan misi sang ayah untuk memajukan bidang pendidikan, kesehatan, dan seni.

Sri Sultan Hamengkubuwono VIII juga memanfaatkan kekayaan kesultanan untuk memperbaiki kompleks Keraton Yogyakarta.

Berikut biografi singkat Sri Sultan Hamengkubuwono VIII.

Baca juga: Sri Sultan Hamengkubuwono VII, Sultan Sugih yang Berprestasi

Perjalanan naik takhta

Sri Sultan Hamengkubuwono VIII lahir pada 3 Maret 1880 dengan nama Gusti Raden Mas (GRM) Sujadi.

Ia adalah putra Sri Sultan Hamengkubuwono VII dari Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, yang setelah dewasa bergelar Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puruboyo.

Pada awalnya, GPH Puruboyo tidak masuk dalam kandidat teratas sebagai penerus Sri Sultan Hamengkubuwono VII.

Putra sulung Sri Sultan Hamengkubuwono VII dari GKR Hemas, yakni GRM Akhadiyat, yang diangkat sebagai putra mahkota.

Namun, tidak lama setelah itu, GRM Akhadiyat meninggal karena sakit.

Baca juga: Biografi Sri Sultan Hamengkubuwono VI

Sri Sultan Hamengkubuwono VII kemudian mengangkat GRM Pratistha sebagai putra mahkota yang baru.

Akan tetapi, gelar GRM Pratistha dicabut karena alasan kesehatan, sehingga posisi putra mahkota jatuh kepada GRM Putro.

Lagi-lagi, Kesultanan Yogyakarta kehilangan putra mahkota karena GRM Putri meninggal setelah menderita sakit keras.

Pada akhirnya, Sri Sultan Hamengkubuwono VII mengangkat GPH Puruboyo sebagai putra mahkota yang akan mewarisi takhtanya.

Pada 1920, Sri Sultan Hamengkubuwono VII yang telah berusia 81 tahun mengutarakan keinginannya untuk turun takhta.

Saat itu, GPH Puruboyo yang tengah menjalani studi di Belanda pun dipanggil pulang.

Tidak lama setelah tiba di Yogyakarta, GPH Puruboyo dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono VIII untuk menggantikan posisi ayahnya sebagai Sultan Yogyakarta.

Baca juga: Daftar Sultan Keraton Yogyakarta

Masa pemerintahan

Berkat perhatian Sri Sultan Hamengkubuwono VII dalam bidang pendidikan, Sri Sultan Hamengkubuwono VIII menjadi Sultan Yogyakarta pertama yang menempuh pendidikan hingga ke Belanda.

Sejak awal Sri Sultan Hamengkubuwono VII memerintah, kehidupan ekonomi Kesultanan Yogyakarta terbilang sangat makmur.

Setelah naik takhta, Sri Sultan Hamengkubuwono VIII memanfaatkan kekayaan kesultanan untuk berbagai macam tujuan, seperti yang dilakukan sang ayah.

Di bidang pendidikan, Sri Sultan Hamengkubuwono VIII juga mendorong anak-anaknya untuk menempuh pendidikan formal hingga ke Belanda.

Sekolah-sekolah dan organisasi terus dikembangkan sehingga semakin banyak bermunculan.

Baca juga: Sri Sultan Hamengkubuwono I, Pendiri Kesultanan Yogyakarta

Di bidang kesehatan, Sri Sultan Hamengkubuwono VIII mendukung pengadaan ambulans untuk Rumah Sakit Onder de Bogen (sekarang Panti Rapih).

Masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII juga dikenal sebagai periode keemasan pentas wayang orang.

Bahkan, pentas wayang orang besar-besaran selama tiga hari sering digelar.

Di samping itu, banyak tarian yang diciptakan pada masa ini, di antaranya adalah Beksan Srimpi Layu-Layu, Beksan Gathutkaca-Suteja, Bedaya Gandrung Manis, Bedaya Kuwung-Kuwung, dan masih banyak lainnya.

Pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono VIII pula, terjadi pembakuan terhadap pakem tari klasik Gaya Yogyakarta dan perubahan pada busana untuk tari Bedaya.

Di lingkungan kesultanan, Sri Sultan Hamengkubuwono VIII banyak merenovasi bangunan keraton, misalnya Bangsal Pagelaran, Tratag Siti Hinggil, Gerbang Danapratapa, dan Masjid Gede.

Bangunan keraton Yogyakarta yang terlihat saat ini adalah hasil perombakan yang dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VIII.

Baca juga: Biografi Sri Sultan Hamengkubuwono II

Sri Sultan Hamengkubuwono VIII mengajarkan anak-anaknya untuk hidup mandiri sejak kecil.

BRM Dorodjatun misalnya, yang nantinya dikenal sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dititipkan ke keluarga Belanda tanpa ada pengasuh yang menjaga agar dapat merasakan hidup layaknya masyarakat biasa.

Ketika dewasa, BRM Dorodjatun disekolahkan ke Belanda untuk memaksimalkan potensinya menjadi pemimpin yang cakap dan cerdas.

Wafat

Pada 1939, Sri Sultan Hamengkubuwono VIII memanggil BRM Dorodjatun agar pulang dari Belanda dan bertemu di Batavia (Jakarta).

Sri Sultan Hamengkubuwono VIII menyerahkan pusaka keraton Kyai Joko Piturun, yang berarti bahwa BRM Dorodjatun telah ditunjuk sebagai penerus takhta Kesultanan Yogyakarta.

Tidak lama setelah itu, tepatnya pada 22 Oktober 1939, Sri Sultan Hamengkubuwono VIII tutup usia di Rumah Sakit Panti Rapih di Yogyakarta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com