Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Trem di Jakarta

Kompas.com - 17/11/2022, 13:44 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Tri Indriawati

Tim Redaksi

Sumber Kompas.com

KOMPAS.com - Pada 1869, Jakarta sudah memiliki angkutan massal pertama yang dikenal dengan sebutan trem.

Bentuk trem hampir mirip seperti kereta api dan juga memiliki gerbong. Bedanya, gerbong pada trem tidak sebanyak yang ada di kereta api.

Umumnya, di dalam satu trem, maksimal hanya ada dua gerbong untuk penumpang.

Berikut ini sejarah trem di Jakarta.

Baca juga: Kenapa Trem di Indonesia Hilang?

Sejarah trem di Jakarta

Sekitar tahun 1808-1811, di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels, dibangun jalan raya yang menghubungkan daerah di Jawa dari Anyer hingga Panarukan.

Berkembangnya industri terutama perkebunan kemudian membuat para pemodal swasta mendesak pemerintah Hindia Belanda untuk merealisasikan pembangunan jalur kereta api untuk mengangkut hasil perkebunan.

Keinginan mereka pun dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1862, yang ditandai dengan pembukaan jalur kereta api pertama di Pulau Jawa, yaitu jalur Semarang-Vorstenlanden.

Semenjak jalur kereta api dibuka, transportasi pun mulai berkembang.

Bersamaan dengan itu, Batavia (sekarang Jakarta) juga telah dijadikan sebagai pusat perekonomian dan perdagangan.

Oleh sebab itu, wilayah Batavia membutuhkan sarana transportasi untuk mengangkut komoditas perdagangan dan para tenaga kerja yang efektif, efisien, cepat, dan murah.

Menanggapi hal tersebut, pemerintah Hindia Belanda kemudian membangun jaringan trem yang merupakan alat transportasi kota jarak dekat.

Baca juga: Sejarah Perkembangan Transportasi Dunia

Trem bertenaga kuda

Pada 1869, dibuka pertama kali jalur trem kuda yang dikelola oleh Bataviasche Tramweg Maatschappij (BTM).

Trem bertenaga kuda ini dapat menampung sekitar 40 penumpang.

Supaya trem tersebut bisa berjalan, maka dibutuhkan tenaga sekitar empat ekor kuda untuk menariknya.

Pada masa ini, ada dua rute yang dilewati oleh trem kuda, yaitu dari Tanah Abang sampai ke Jatinegara.

Usia trem kuda diketahui berlangsung tidak cukup lama, yakni 12 tahun, karena rute panjang yang harus ditempuh membuat banyak kuda pada trem ini kelelahan.

Oleh sebab itu, trem kuda digantikan oleh trem generasi kedua, yaitu trem uap.

Baca juga: Sejarah dan Perkembangan Trem di Indonesia

Trem uap

Trem uap mulai beroperasi di Batavia pada 1881.

Pada generasi kedua ini, trem sudah tidak lagi ditarik menggunakan kuda melainkan lokomotif yang dijalankan menggunakan ketel uap.

Pada bagian depan trem ada sebuah tungku yang berfungsi untuk membakar batu bara sebagai tenaga penarik trem.

Usia pengoperasian trem uap lebih lama dibanding trem kuda, yakni selama 20 tahun, sebelum akhirnya digantikan oleh trem listrik.

Baca juga: Perkembangan Teknologi Transportasi

Trem listrik

Seiring dengan berkembangnya teknologi, trem uap diganti dengan trem listrik.

Sebenarnya, gagasan mengenai penggunaan trem listrik sudah diusulkan sejak tahun 1886, oleh seorang ahli listrik asal Belanda bernama Van Zwieten.

Namun, trem listrik baru bisa dioperasikan pada 10 April 1899.

Setelah lebih dari 50 tahun beroperasi, trem listrik dihapuskan di Jakarta sekitar tahun 1960-an.

Sebab, trem listrik dianggap tidak sesuai dengan kondisi kota di Jakarta yang saat itu sudah mulai ramai.

Keberadaan trem listrik pun diganti oleh bus. Alasannya, kondisi jalan raya di Jakarta sudah jauh lebih baik dengan adanya aspal.

 

Referensi:

  • Saputra, Muhammad Hadian. (2022). Perkembangan Trem Batavia Tahun 1869-1930. Mozaik Kajian Ilmu Sejarah. Volume 13, Nomor 1, 2022.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com