KOMPAS.com - Paracetamol adalah salah satu obat populer yang biasanya digunakan untuk meredakan sakit kepala ringan dan flu.
Paracetamol atau asetaminofen merupakan obat analgesik dan antipiretik yang cukup berbeda dari obat analgesik lainnya, seperti aspirin dan ibuprofen.
Bedanya, paracetamol tidak memiliki sifat antiradang. Oleh sebab itu, paracetamol tidak tergolong ke dalam jenis obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS).
Di balik kepopulerannya, paracetamol memiliki sejarah yang cukup panjang sebelum banyak dikonsumsi oleh masyarakat pada zaman sekarang.
Berikut ini sejarah paracetamol.
Baca juga: Sejarah Obat Herbal di Indonesia, Ada 3 Tingkatannya
Parasetamol berasal dari singkatan nama kimia yang terbagi dalam dua versi.
Versi Amerika disebut dengan N-asetil-para-aminofenol asetominofen, sedangkan dalam versi Inggris adalah para-asetil-amino-fenol parasetamol.
Paracetamol mulai dikenal sejak tahun 1990-an. Obat ini berasal dari tanaman cinchora atau sinkona yang merupakan bahan utama untuk membuat obat-obat malaria dan asam salisiat.
Sejarah paracetamol dimulai pada 1877, ketika seorang bernama Harmon Northrop Morse mensintesis paracetamol di Universitas John Hopkins melalui reduksi p-nitrofenol dengan timah dalam asetat glasial.
Dari eksperimen tersebut, dapat diketahui bahwa dulunya paracetamol tidak langsung difungsikan untuk pengobatan.
Barulah pada 1887, seorang ahli farmakologi klinis bernama Joseph von Mering mencoba parasetamol pada manusia.
Bertahun-tahun kemudian, tepatnya pada 1893, Von Mering menerbitkan sebuah makalah yang berisi laporan hasil klinis parasetamol dan phenacetin.
Di dalam laporan tersebut, Von Mering mengklaim bahwa parasetamol memiliki sedikit kecenderungan untuk menghasilkan methemoglobinemia dibandingkan dengan phenacetin.
Methemoglobinemia adalah kelainan darah akibat kelebihan methemoglobin.
Oleh sebab itu, Von Mering tidak lagi menggunakan paracetamol dan beralih menggunakan phenacetin.