KOMPAS.com – Nilai religius adalah sebuah nilai keagamaan atau ketuhanan yang mutlak pada keyakinan dan kepercayaan manusia.
Oleh sebab itu, nilai religius diletakkan sebagai sila pertama dalam Pancasila yang menandakan sebagai nilai tertinggi dibandingkan nilai-nilai yang lain.
Lantas, sejak kapan nilai religius dikenal oleh bangsa Indonesia?
Baca juga: Bagaimana Sistem Kepercayaan pada Masa Perundagian?
Nilai religius dikenal oleh bangsa Indonesia sejak zaman praaksara atau prasejarah.
Nilai religius merupakan salah satu budaya yang diciptakan setelah manusia mengenal sistem kepercayaan.
Budaya religius berfungsi sebagai pengingat maupun penggiring atau norma kehidupan pada masa praaksara.
Nilai religius kali pertama diyakini oleh manusia purba sejak zaman Neolithikum atau Batu Baru.
Pada zaman Neolithukum, berkembanglah kebudayaan Megalithikum yang erat kaitannya dengan eksistensi sistem kepercayaan manusia purba.
Kebudayaan Megalithikum adalah suatu tradisi dan kebudayaan manusia purba yang menghasilkan banyak batu besar untuk kebutuhan religius.
Beberapa hasil kebudayaan Megalithikum adalah menhir, dolmen, arca, waruga, sarkofagus, dan punden berundak, yang masing-masing berkaitan dengan sistem kepercayaan yang dianut oleh manusia praaksara.
Dalam menjalankan kehidupan, manusia praaskara selalu berpegang teguh untuk melakukan hal-hal baik sesuai dengan nilai spiritualitas yang mereka anut.
Nilai religius atau sistem kepercayaan pada era praaksara dikategorikan ke dalam tiga jenis, yaitu Animisme, Dinamisme, dan Totemisme
Baca juga: Zaman Megalitikum: Peninggalan, Sejarah, Ciri, dan Kepercayaan
Animisme
Sistem kepercayaan pertama adalah animisme, yang berasal dari bahasa Latin, yakni anima yang berarti nyawa, jiwa, atau roh.
Secara garis besar, animisme adalah kepercayaan bahwa semua yang bergerak dianggap hidup serta mempunyai roh berwatak baik atau buruk.
Selain itu, orang-orang yang meyakini animisme percaya bahwa roh orang yang sudah meninggal dunia bisa masuk ke dalam tubuh hewan.
Oleh karena itu, animisme juga disebut sebagai kepercayaan manusia pada leluhur.
Masyarakat penganut animisme meyakini bahwa orang-orang yang sudah meninggal dianggap sebagai yang maha tinggi dan mampu menentukan nasib atau mengatur segala perilaku manusia.
Oleh sebab itu, agar masyarakat bisa terhindar dari kemarahan roh leluhur biasanya diadakan sebuah ritual tertentu.
Baca juga: Kepercayaan Animisme: Pengertian, Sejarah, dan Contohnya
Selanjutnya adalah dinamisme, yakni kepercayaan yang menganggap bahwa pohon dan batu besar memiliki kekuatan gaib.
Dinamisme berasal dari bahasa Yunani, dunamos, yang berarti kekuatan atau daya.
Kesimpulannya, dinamisme adalah kepercayaan terhadap benda-benda tertentu yang diyakini mempunyai kekuatan gaib, sehingga benda itu akan dihormati dan dikeramatkan.
Contoh benda-benda yang dikeramatkan adalah api, batu, air, pohon, dan binatang.
Baca juga: Kepercayaan Dinamisme: Pengertian, Sejarah, dan Contohnya
Bentuk religius yang terakhir ada totemisme, yaitu bentuk kepercayaan terhadap adanya daya atau sifat ilahi yang termuat di dalam sebuah benda atau makhluk hidup selain manusia.
Benda atau makhluk hidup yang disembah ini disebut sebagi totem, bisa berupa burung, ikan, hewan, dan tumbuhan.
Totemisme berasal dari kata dotem, yakni sebuah istilah yang digunakan oleh orang Algonquin di Amerika Utara, untuk menunjuk sebuah klan tertentu.
Tradisi ibadah yang dilakukan masyarakat penganut totemisme adalah dengan merawat hewan atau tumbuhan suci yang mereka sembah.
Selama mereka hidup, tidak ada satupun hewan atau tumbuhan yang akan mereka lukai atau bunuh, karena sudah dijadikan sebagai totem.
Referensi: