KOMPAS.com – Ibnu Hadjar adalah Letnan Dua Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang memimpin aksi pemberontakan di Kalimantan Selatan pada 1950.
Pemberontakan ini lebih dikenal dengan sebutan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Dalam pemberontakan ini, Ibnu Hajar bersama DT/TII menyerang pos-pos kesatuan tentara di Kalimantan Selatan dan menimbulkan kekacauan.
Pada akhirnya, pasukan DI/TII berhasil ditumpas, kemudian Ibnu Hadjar divonis hukuman mati pada 11 Maret 1965.
Ibnu Hadjar meninggal dunia pada 22 Maret 1965, di usia 44 tahun.
Baca juga: Penumpasan Pemberontakan DI/TII
Ibnu Hadjar atau Haderi bin Umar alias Angli lahir di Ambutun, Kalimantan Selatan, pada 19 April 1920.
Ia merupakan putra dari seorang asli Ambutun dan ibunya, Siti Hadijah, seorang putri kepala suku Dayak di Tamiang Layang, Kalimantan Tengah.
Pada masa sebelum kemerdekaan, Ibnu Hadjar menghabiskan waktunya dengan bekerja sebagai petani dan pencari madu.
Setelah itu, Ibnu Hadjar memutuskan untuk berkiprah dalam bidang militer.
Ibnu Hadjar bergabung ke dalam ALRI Divisi IV dan lulus dengan pangkat Letnan Dua.
Sebagai seorang tentara, sudah menjadi tugas Ibnu Hadjar menumpas penjajah, salah satunya berjuang melawan Belanda demi mencapai kemerdekaan Indonesia.
Baca juga: Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah
Pada pengujung 1949, pemerintah sedang melakukan program reorganisasi terhadap divisi-divisi TNI, termasuk ALRI IV.
Dalam program ini, setiap anggota yang dianggap kurang memenuhi syarat untuk bergabung ke dalam TNI akan diberhentikan.
Ibnu Hadjar merasa kecewa dengan kebijakan baru ini. Ia kemudian mencari massa untuk melakukan pemberontakan yang dikenal dengan nama DI/TII.
Ia bersama 60 anggotanya membentuk sebuah kekuatan yang bernama Kesatuan Rakyat yang Tertindas.
Setelah itu, Ibnu Hadjar dan pasukannya melancarkan serangan pertama ke pos-pos kesatuan tentara di Kalimantan Selatan pada Maret 1950.
Lalu, pada Oktober 1950, Ibnu Hadjar kembali melakukan berbagai tindakan pengacauan di sana.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah harus ikut turun tangan menghadapi aksi pemberontakan Ibnu Hadjar.
Awalnya, pemerintah masih bersikap baik setelah Ibnu Hadjar memilih menyerahkan diri, bahkan ia diterima untuk kembali bergabung ke dalam APRIS.
Akan tetapi, Ibnu Hadjar justru kembali membelot setelah mendapat persenjataan lengkap. Ia melarikan diri dan melanjutkan pemberontakannya.
Alhasil, pemerintah memutuskan mengambil tindakan tegas dengan menggempur pasukan Ibnu Hadjar.
Pada 23 November 1959, APRI atau TNI membentuk operasi militer pertama yang disebut Operasi Delima.
Operasi Delima dilakukan selama 15 hari dan menewaskan beberapa anggota DI/TII Kalimantan Selatan.
Setelah itu, TNI membentuk Operasi Segi Tiga pada 10 Maret 1960.
Terakhir, TNI membentuk Operasi Riko, yaitu sebuah operasi militer sebagai reaksi atas persembunyian Ibnu Hadjar di dalam hutan.
Operasi Riko pun membuat pasukan Ibnu Hadjar harus mundur kembali ke selatan.
Puncaknya, pada Juli 1963, Ibnu Hadjar menyerahkan diri karena dijanjikan akan diberi pengampunan.
Penangkapan Ibnu Hadjar baru dilakukan secara resmi pada September 1963.
Ia sempat ditahan selama dua tahun sebelum diterbangkan ke Jakarta pada 11 Maret 1965, untuk menjalani proses pengadilan Mahkamah Militer.
Pengadilan pun memutuskan memberi vonis hukuman mati untuk Ibnu Hadjar.
Ibnu Hadjar meninggal dunia pada 22 Maret 1965.
Baca juga: 10 Tokoh Pemimpin Perjuangan Diplomasi Indonesia
Referensi: