Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aung San Suu Kyi, Sosok Kontroversial yang Terancam 150 Tahun Penjara

Kompas.com - 04/07/2022, 09:00 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Widya Lestari Ningsih

Tim Redaksi

Sumber Kompas.com

Orang Myanmar dari berbagai kalangan melakukan demonstrasi untuk menuntut reformasi demokrasi.

Demonstrasi massal untuk demokrasi mulai terjadi pada 8 Agustus 1988, yang kemudian dikenal sebagai Pemberontakan 8888.

Namun, aksi tersebut ditanggapi secara brutal oleh pemerintahan militer yang otoriter di bawah pimpinan Jenderal Ne Win yang berkuasa sejak 1962.

Pada 26 Agustus 1988, San Suu Kyi berbicara di depan setengah juta orang pada rapat umum massal di depan Pagoda Shwedagon, menyerukan adanya pemerintahan yang demokratis.

Ia pun memimpin pemberontakan terhadap pemerintahan militer otoriter di Myanmar tanpa kekerasan.

Misinya adalah untuk menyerukan reformasi demokrasi yang damai. Namun, pada September 1988, kekuasaan Jenderal Ne Win diambil alih oleh junta militer baru melalui kudeta.

Baca juga: Peristiwa 3 Juli 1946, Upaya Kudeta Pertama di Indonesia

Pada 27 September 1988, Aung San Suu Kyi terus menjadi pejuang demokrasi dengan turut membantu mendirikan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).

Tidak lama kemudian, Aung San Suu Kyi ditempatkan sebagai tahanan rumah. Pada 1990, junta militer mengadakan pemilihan umum yang dimenangkan oleh NLD.

Akan tetapi, pihak junta menolak menyerahkan kekuasaan, yang mengakibatkan munculnya kecaman internasional.

Meski berstatus sebagai tahanan, kerja keras dan perjuangan Aung San Suu Kyi tetap dihargai oleh berbagai pihak.

Selain disebut sebagai pahlawan oleh masyarakat Myanmar, pada 1990, ia mendapat Penghargaan Sakharov untuk Kebebasan Berpikir dan Penghargaan Nobel Perdamaian pada 1991 atas perjuangannya dalam memperjuangkan demokrasi melawan kekuasaan rezim militer tanpa menggunakan kekerasan.

Sejak 1990-an, Aung San Suu Kyi bolak-balik menjadi tahanan rumah. Terkadang, ia bisa bertemu dengan pejabat NLD dan diplomat terpilih.

Namun, selama tahun-tahun awal, ia sering berada di sel isolasi. Militer bahkan melarangnya menemui kedua putranya atau suaminya, yang akhirnya meninggal pada 1999.

Baca juga: Krisis Rohingya di Myanmar

Menjadi pemimpin Myanmar

Pada 13 November 2010, Aung San Suu Kyi resmi dinyatakan bebas dari status tahanan rumah setelah hampir 20 tahun.

Ia pun diakui oleh komunitas internasional sebagai simbol perlawanan damai dalam menghadapi penindasan rezim militer yang otoriter.

Sejak 2011, Myanmar perlahan mulai melakukan serangkaian reformasi dan akhirnya melakukan pemilihan umum (pemilu) secara bebas pada 2015 setelah 25 tahun.

Meski dalam pemilu tersebut NLD menang telak, Aung San Suu Kyi tidak bisa mencalonkan diri sebagai presiden.

Hal ini karena berdasarkan Konstitusi Myanmar, seorang janda dan seseorang yang memiliki anak berkewarganegaraan asing tidak dapat mencalonkan sebagai presiden.

Kendati secara resmi memiliki gelar sebagai penasihat negara, ia secara luas dipandang sebagai pemimpin “de facto” Myanmar.

Sedangkan jabatan Presiden Myanmar dipegang oleh Win Myint, salah satu orang terdekatnya.

Baca juga: Kontroversi Pengangkatan BJ Habibie sebagai Presiden Indonesia

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com