KOMPAS.com - Pondok pesantren pertama di Indonesia adalah Pondok Pesantren Sidogiri yang berdiri pada tahun 1718.
Pondok pesantren ini didirikan oleh Sayyid Sulaiman dibantu oleh Kiai Aminullah.
Pendirian pondok pesantren ini menjadi salah satu peranan penting dalam penyebaran agama Islam di Indonesia melalui pendidikan.
Baca juga: Sejarah Pondok Pesantren dan Perjuangan Kemerdekaan
Pondok Pesantren Sidogiri didirikan oleh Sayyid Sulaiman, yang merupakan keturunan Rasulullah dari marga Basyaiban asal Cirebon, Jawa Barat.
Ia adalah putra dari Sayyid Abdurrahman, seorang perantau dari Hadramaut, Yaman. Sedangkan ibunya bernama Syarifah Khodijah, putri Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati.
Ada dua versi mengenai tahun berdirinya Pondok Pesantren Sidogiri, yaitu 1718 dan 1745.
Dalam sebuah catatan yang ditulis oleh Panca Warga pada 1963, disebutkan bahwa Pondok Pesantren Sidogiri didirikan pada 1718.
Namun, dalam surat lain yang ditandatangani oleh KA Sa'doellah Nawawie, tertulis bahwa Pondok Pesantren Sidogiri didirikan pada 1745.
Pada praktiknya, versi kedua ini yang dijadikan sebagai patokan hari lahir atau ulang tahun Pondok Pesantren Sidogiri setiap tahunnya.
Baca juga: Tokoh-tokoh Pendiri Nahdlatul Ulama
Pendirian pondok pesantren Sidogiri diawali dengan pembabatan Desa Sidogiri di Pasuruan, Jawa Timur, yang dilakukan oleh Sayyid Sulaiman.
Dalam hal ini, Sayyid Sulaiman dibantu oleh Kiai Aminullah, seorang santri sekaligus menantunya yang berasal dari Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Konon, Sayyid Sulaiman melakukan pembabatan Sidogiri, yang masih dalam bentuk hutan belantara dan tidak pernah ditinggali manusia, selama 40 hari.
Kendati demikian, Sidogiri tetap dipilih karena tanahnya dipercaya baik dan berbarakah.
Baca juga: Peninggalan Sejarah Islam di Indonesia
Setelah didirikan, kepengurusan Pondok Pesantren Sidogiri dipegang oleh KH Aminullah sampai akhir abad ke-18, sebelum akhirnya diserahkan ke Kiai Mahalli, santri yang juga turut membabat Desa Sidogiri.
Pada awal 1800-an, Kiai Mahalli meninggal, sehingga posisinya digantikan oleh KH Abu Dzarrin, santri asal Magelang yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Sayyid.
Setelah itu, secara berturut-turut, kepengurusan Pondok Pesantren Sidogiri dipercayakan kepada KH Noerhasan bin Noerkhotim, KH Bahar bin Noerhasan, KH Nawawie, KH. Abd. Adzim bin Oerip, KH Abd. Djalil bin Fadhil, KH. Cholil Nawawie, KH. Abdul Alim, dan KH. A. Nawawi bin Abd. Djalil dari 2005 hingga sekarang.
Baca juga: Wali Songo: Penyebar Islam di Tanah Jawa
Ketika dibawah pengasuhan KH. Noerhasan bin Noerkhotim, Pondok Pesantren Sidogiri mulai melaksanakan pengajian kitab-kitab besar dan pembacaan salawat setelah maghrib.
Kemudian, mulai 1938, pondok pesantren ini mulai memakai dua sistem pendidikan, yaitu sistem pengajian mahadiyah dan sistem madrasiyah (klasikal).
Mahadiyah adalah kegiatan yang harus diikuti oleh seluruh santri pondok pesantren, sedangkan Madrasiyah merupakan kegiatan yang harus diikuti oleh seluruh santri sekaligus murid yang sekolah di rumah walinya.
Sejak itu, bangunan demi bangunan terus ditambahkan dan aktivitas pendidikan serta keagamaan santri di Pondok Pesantren Sidogiri semakin banyak.
Adapun kegiatan yang dilakukan para santri di dalam Pondok Pesantren Sidogiri adalah sebagai berikut.