Sementara raja ketiga Samudera Pasai, Sultan Malik Az Zahir, merupakan pemimpin yang sangat taat pada agama dan berpegang pada ajaran Islam mazhab Syafi’i.
Baca juga: Kerajaan Samudera Pasai: Sejarah, Masa Kejayaan, dan Peninggalan
Ibnu Bathutah, seorang penjelajah Muslim yang pernah singgah di Kerajaan Samudera Pasai, memastikan bahwa teori ketatanegaraan (hukum tata negara) Al-Mawardi telah dilaksanakan.
Dari catatan sejarah tersebut, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan peradilan agama telah berjalan dengan baik.
Salah satu buktinya dapat dilihat dari taatnya pemimpin pada agama Islam, sehingga aspek hukum kerajaan pun pasti tunduk pada ketentuan hukum Islam.
Terdapat dua teks hukum (peraturan perundang-undangan) yang berlaku pada masa Kerajaan Malaka. Salah satunya adalah Undang-Undang Melaka.
Dalam Undang-Undang Melaka, terdapat salah satu ketentuan mengenai pidana pembunuhan yang disusun atas dasar hukum Islam dari Al Quran dan hukum adat.
Peradilan agama di Kerajaan Malaka dikenal sebagai lembaga kadi, yaitu lembaga yang bertanggung jawab atas penerapan hukum Islam (lembaga kehakiman). Namun, sifatnya tidak terlalu mengikat.
Baca juga: Kerajaan Malaka: Letak, Pendiri, Kehidupan, dan Puncak Kejayaan
Berbeda dengan Kerajaan Malaka yang tidak terlalu menggantungkan hukum Islam, Kerajaan Aceh sangat kuat menerapkan hukum Islam hingga proses peradilannya.
Kerajaan Aceh memiliki dua lembaga hukum (peradilan agama) yang berlaku, antara lain:
Ketika Sultan Agung berkuasa (1613-1645) di Mataram Islam, Pengadilan Surambi, yang menjalankan peradilan berdasarkan hukum Islam (tempat peradilan agama), didirikan.
Pengadilan Surambi diselenggarakan di serambi masjid dan pemimpinnya dialihkan pada penghulu.
Baca juga: Kerajaan Mataram Islam: Pendiri, Kehidupan Politik, dan Peninggalan
Dalam menjalankan tugasnya, penghulu berpatokan dengan kitab-kitab standar yang berisi ajaran hukum Islam.
Sementara itu, anggota majelis Pengadilan Surambi diisi oleh beberapa ulama dari pesantren.
Pengadilan Surambi berperan untuk mengadili perkara perkawinan, perceraian, waris, zakat, wakaf, dan harta gono-gini.
Pengadilan ini juga sempat mengatasi perkara pidana, walau akhirnya dipindahkan lagi ke Pengadilan Pradata (salah satu pengadilan di Kerajaan Mataram Islam).