Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Geger Pacinan Batavia: Penyebab, Tokoh, dan Dampaknya

Kompas.com - 12/11/2021, 13:00 WIB
Widya Lestari Ningsih,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Geger Pacinan adalah peristiwa serangan penuh kekerasan terhadap etnis Tionghoa di Batavia yang terjadi pada 1740.

Sepanjang Oktober hingga November 1740, orang Tionghoa di Batavia banyak yang dibantai atas izin langsung dari Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier.

Geger Pacinan diperkirakan menewaskan lebih dari 10.000 orang keturunan Tionghoa di Batavia.

Selain menimbulkan goncangan politik di Jawa pada saat itu, dampak peristiwa ini bahkan masih terasa hingga sekarang.

Penyebab Geger Pacinan

Latar belakang terjadinya Geger Pacinan sebenarnya berakar pada krisis ekonomi dan politik yang menimpa VOC di Batavia pada akhir abad ke-17.

Untuk mengisi kas yang mulai memprihatinkan, VOC melakukan monopoli terhadap para pedagang Tionghoa di Batavia.

Baca juga: Latar Belakang Peristiwa Geger Pacinan

Para pedagang Tionghoa yang ekonominya lebih maju juga dijadikan objek pemerasan VOC melalui berbagai kebijakannya.

Dalam sensus VOC tahun 1739, tercatat telah ada 10.574 pemukim Tionghoa di Batavia yang umumnya berprofesi sebagai pedagang, pegawai pelabuhan, dan buruh di pabrik gula.

Namun, jumlah sebenarnya diyakini lebih tinggi, mengingat banyaknya imigran gelap yang bermukim di dalam kota ataupun di sekitar Tangerang-Bekasi.

Saat situasi ekonomi di Batavia semakin buruk karena surutnya pamor bisnis gula sebagai komoditas ekspor, VOC memperketat kebijakannya yang semakin menyusahkan semua pendatang dari Cina.

Etnis Tionghoa dipaksa memiliki surat identifikasi yang dapat dibeli dengan biaya dua ringgit.

Sedangkan para imigran yang belum memegang surat tersebut akan ditangkap dan dipenjara. Pada titik ini, orang-orang Tionghoa mulai resah dan mempersenjatai diri.

Baca juga: Pertempuran Batavia: Penyebab, Kronologi, dan Dampak

Pada Juli 1740, razia dilakukan untuk menangkap etnis Tionghoa yang dipandang mencurigakan dan membahayakan keamanan publik.

Selain itu, VOC mengancam akan membuang buruh Tionghoa yang menganggur ke Sri Lanka.

Pada September 1740, lebih dari 1.000 orang Tionghoa berkumpul di Pabrik Gula Gandaria (kini kawasan Jakarta Selatan), di bawah pimpinan Kapitan Sepanjang.

Kemudian pada 7 Oktober 1740, etnis Tionghoa mulai berani menyerang pos-pos VOC di berbagai titik hingga menewaskan 16 serdadu Belanda.

VOC segera merespon pemberontakan itu dengan tindakan represif lainnya, yakni memberlakukan jam malam, melarang penggunaan lampu, serta melucuti senjata yang dimiliki etnis Tionghoa.

Siapapun yang menolak atau melawan, maka akan langsung ditembak mati oleh tentara VOC.

Pembantaian etnis Tionghoa di Batavia pada 1740.Wikimedia Commons/Abraham Van Stolk & Gerrit van Rijk Pembantaian etnis Tionghoa di Batavia pada 1740.

Pembantaian etnis Tionghoa

Pada 9 Oktober 1740, VOC mulai menangkapi orang-orang Tionghoa di Batavia. Kepanikan pun melanda saat muncul desas-desus bahwa orang yang ditangkap akan dibuang di laut.

Karena gagal menguasai keadaan, VOC lantas menggeledah kediaman Tionghoa untuk mencari senjata dan menjarah harta-bendanya. Setelah itu, rumah-rumah mereka dibakar.

Saat itu juga, Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier memerintahkan untuk membantai orang Tionghoa tanpa pandang bulu.

Tidak hanya orang Eropa, aksi pembantaian juga dilakukan oleh para budak dan pendatang dari Timur Tengah. Mereka dipaksa ikut menyerang dengan ancaman keselamatan nyawa.

Puncak pembantaian terjadi pada 10 Oktober 1740, saat Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier memerintahkan semua etnis Tionghoa yang tersisa untuk diseret dari rumah-rumah atau bahkan rumah sakit, untuk dibantai di lapangan depan Museum Fatahillah.

Diperkirakan sekurangnya 7.000 sampai 10.000 orang menjadi korban ketika VOC melakukan sweeping terhadap orang Cina selama dua hari tersebut. Mayat mereka kemudian dibuang ke Kali Besar.

Baca juga: Mengapa Mataram Menyerang Batavia?

Etnis Tionghoa melarikan diri

Mendengar pembantaian massal oleh VOC di Batavia, sebanyak 3.000 pasukan Tionghoa menyerbu benteng Belanda di Tangerang pada 11 Oktober 1740.

Pada saat bersamaan, sekitar 5.000 orang Tionghoa menyerbu pertahanan VOC di kawasan Jatinegara hingga banyak korban jiwa berjatuhan dari kedua belah pihak.

Kapitan Sepanjang pun berusaha menuntut balas dengan menyerbu Batavia, tetapi kalah persenjataan dan perlengkapan. Hingga November 1740, pertempuran kecil masih terjadi di sejumlah wilayah.

Sisa-sisa orang Tionghoa yang masih hidup kemudian menyelamatkan diri ke Kampung Melayu, Pulogadung, Tanjung Priok, dan Sukapura, untuk selanjutnya berkonsolidasi dengan pasukan pemberontak di daerah Bekasi dan Karawang.

Saat VOC mengirim pasukan di bawah komando Abraham Roos untuk mengejar, Kapitan Sepanjang dan pasukan Tionghoa akhirnya memilih menyingkir ke wilayah Kerajaan Mataram.

Pada akhir 1740, para pelarian ini tiba di Lasem, Rembang, dan ditolong oleh priyayi setempat.

Wilayah Lasem sendiri telah menjadi hunian masyarakat Tionghoa sejak jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa.

Baca juga: Campur Tangan VOC di Kerajaan Mataram

Dampak Geger Pacinan

Geger Pacinan mengakibatkan efek domino dan menimbulkan goncangan konstelasi politik Jawa secara masif.

Pasalnya, peristiwa di Batavia menjadi penyebab meluasnya perlawanan etnis Tionghoa terhadap VOC di Semarang dan Rembang, atau disebut Perang Kuning, yang berlangsung hingga 1743.

Bagi Belanda, Geger Pacinan menyebabkan produksi gula di Batavia menurun drastis. Sebab, banyak etnis Tionghoa yang dulunya bekerja sebagai buruh di industri tersebut menjadi korban.

Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier pada akhirnya diadili oleh Belanda setelah dilaporkan oleh Gustaaf Baron van Imhoff sebagai biang keributan peristiwa Geger Pacinan.

Selain itu, Valckenier juga dituduh melakukan serangkaian kesalahan yang membuat VOC mengalami kerugian.

Kendati demikian, rezim kolonial Belanda tetap meneruskan semangat anti-Tionghoa, dengan memisahkan mereka dari masyarakat pribumi Jawa.

Alhasil, lahirlah kebijakan kampung sentra etnis, di mana etnis Tionghoa diatur untuk tinggal di daerah tertentu, hingga muncul kampung pecinan dan kampung pekojan.

Langkah ini dilakukan sebagai upaya mengendalikan aktivitas ekonomi etnis Tionghoa agar tidak dapat berkembang menandingi VOC.

Kebijakan pemerintah kolonial saat itu seolah menempatkan etnis Tionghoa sebagai pihak yang paling diintimidasi.

Oleh karena itu, Geger Pacinan dapat disebut sebagai akar kekerasan massal terhadap orang Tionghoa yang pada akhirnya terus menjadi isu sensitif dalam politik Indonesia hingga saat ini.

 

Referensi:

  • Santosa, Iwan. (2014). Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara sampai Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com