Pada Februari 1740, sekitar 100 orang Tionghoa di Tanjung Priok dan Bekasi ditahan oleh VOC.
Razia yang dilakukan VOC membuat orang-orang Tionghoa resah dan mulai mempersenjatai diri. Terlebih lagi, saat itu ancaman wabah penyakit tengah mengantui Batavia.
Hubungan antara keduanya menjadi semakin buruk saat sekelompok orang Tionghoa mencoba membebaskan tahanan dari penjara.
Pada Juli 1740, razia kembali dilakukan. Namun, kali ini ditujukan kepada orang Tionghoa yang dipandang mencurigakan dan membahayakan keamanan publik.
Selain itu, orang Tionghoa yang menganggur akan segera dibuang ke Sri Lanka, koloni VOC yang dijadikan tempat pembuangan.
Bahkan bangsawan Nusantara seperti Pangeran Mangkunegara juga dibuang ke tempat tersebut.
Baca juga: Perjuangan Sultan Agung di Batavia
Akibat tindakan sewenang-wenang VOC, penduduk Tionghoa semakin resah dan berani melawan. Pada September 1740, lebih dari 1.000 orang Tionghoa bergerombol di Pabrik Gula Gandaria (kini kawasan Jakarta Selatan).
Nama tokoh Cina yang melawan VOC di Batavia adalah Kapitan Sepanjang alias Tay Wan Soey.
Akibat gerakan dari etnis Tionghoa tersebut, kondisi keamanan di Batavia dianggap gawat darurat.
Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier dan Gustaaf Baron van Imhoff sempat menemui Kapitan Sepanjang untuk berunding, tetapi ditolak.
Malahan, pada 7 Oktober 1740, etnis Tionghoa berani menyerang pos-pos VOC di berbagai titik hingga menewaskan 16 serdadu Belanda.
Keesokan paginya, VOC langsung memberlakukan jam malam, melarang penggunaan lampu, serta melucuti senjata yang dimiliki etnis Tionghoa.
Apabila menolak atau melawan, maka VOC akan langsung menembak mati orang-orang Tionghoa yang membangkang.
Serangkaian peristiwa itulah yang pada akhirnya memicu kekacauan hingga pembantaian etnis Tionghoa, yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Geger Pacinan 1740.
Referensi: