Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Latar Belakang Peristiwa Geger Pacinan

Kompas.com - 12/11/2021, 10:00 WIB
Widya Lestari Ningsih,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Menjelang pertengahan abad ke-18, terjadi peperangan besar-besaran antara etnis Tionghoa dengan VOC di Batavia (kini Jakarta).

Peristiwa yang berlangsung dari bulan Oktober hingga November 1740 ini kemudian dikenal dengan sebutan Geger Pacinan atau Tragedi Angke.

Dalam peristiwa ini, diperkirakan lebih dari 10.000 orang keturunan Tionghoa menjadi korban pembantaian di bawah restu Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier.

Lantas, apa penyebab munculnya Tragedi Angke atau Geger Pacinan 1740?

Berawal dari krisis ekonomi

Latar belakang peristiwa Geger Pacinan diawali oleh krisis ekonomi dan politik yang menimpa koloni VOC di Batavia pada akhir abad ke-17.

Batavia, yang kala itu menjadi pusat imperium perdagangan VOC, banyak dikunjungi oleh pedagang dari berbagai negara, termasuk pedagang Cina.

Pada 1690, VOC mulai meningkatkan kuota bagi imigran Tionghoa yang datang untuk menguatkan ekonominya.

Lambat-laun, imigran Tionghoa yang resmi dan ilegal justru dijadikan objek pemerasan VOC.

Tercatat pada 1696, VOC menerapkan pajak 15 ringgit untuk setiap orang Tionghoa yang datang. Kebijakan ini dirasa berat, karena sebelum kedatangan VOC, para imigran dapat berniaga bebas dengan penduduk Nusantara.

Akhirnya, VOC mau mengendurkan aturan imigrasi bagi orang Tionghoa dan menaikkan kuotanya.

Pada 1719, catatan resmi VOC mengungkap bahwa telah ada 7.550 pemukim Tionghoa di Batavia. Jumlahnya terus meningkat hingga mencapai 35 persen dari keseluruhan penduduk Batavia saat itu.

Baca juga: Pertempuran Batavia: Penyebab, Kronologi, dan Dampak

Razia terhadap etnis Tionghoa

Memasuki 1738, keadaan kas VOC semakin memprihatinkan karena harga rempah di pasaran jatuh. Selain itu, muncul persaingan komoditas kopi dengan EIC, kongsi dagang Inggris yang berpusat di India.

Untuk mengisi kas VOC, Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier mengeluarkan kebijakan di mana para imigran Tionghoa diwajibkan memiliki permissie brief, yang dapat ditebus dengan biaya dua ringgit.

Dalam sensus VOC tahun 1739, tercatat ada 10.574 pemukim Tionghoa di Batavia. Namun, angka sebenarnya diyakini lebih tinggi, mengingat banyaknya imigran gelap yang bermukim di dalam kota ataupun di sekitar Tangerang-Bekasi.

Saat situasi ekonomi di Batavia semakin buruk karena surutnya pamor bisnis gula sebagai komoditas ekspor, VOC mulai merazia etnis Tionghoa secara besar-besaran.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com