Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Campur Tangan VOC di Kerajaan Mataram

Kompas.com - 27/10/2021, 12:00 WIB
Widya Lestari Ningsih,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Salah satu penyebab jatuhnya Kerajaan Mataram Islam adalah adanya campur tangan VOC di dalam kehidupan pemerintahannya.

Intervensi VOC dimulai pada masa pemerintahan Amangkurat I (1645-1677), putra sekaligus pengganti Sultan Agung.

Sejak saat itu, kondisi Mataram semakin tidak menentu dan mencapai puncaknya pada 1755, saat terjadi Perjanjian Giyanti, yang menyebabkan kerajaan harus dibagi menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Masuknya pengaruh VOC

Sepeninggal Sultan Agung pada 1645, takhta Mataram Islam jatuh ke tangan Amangkurat I.

Berbeda dengan sang ayah, yang sangat anti terhadap Belanda dan berhasil membawa Kerajaan Mataram Islam menuju puncak kejayaan, Amangkurat I dikenal sebagai raja yang kejam.

Tidak hanya itu, Amangkurat I sangat lunak terhadap Belanda, dan bahkan memilih bersekutu dengan VOC daripada meminta dukungan rakyatnya sendiri.

Sejak awal pemerintahannya, Amangkurat I melakukan perjanjian dengan VOC yang hakikatnya Mataram harus mengakui kekuasaan politik VOC di Batavia.

Setiap tahunnya, VOC juga mengirimkan utusan ke Mataram, yang pada akhirnya ikut campur urusan politik kerajaan.

Selama Amangkurat I berkuasa, terjadi banyak pemberontakan, salah satunya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Trunojoyo.

Dalam pemberontakan itu, Amangkurat I meninggal dalam pelarian untuk memintan bantuan VOC.

Setelah itu, putranya yang bernama Pangeran Adipati Anom terpaksa menjalin kerjasama dengan VOC untuk melumpuhkan Trunojoyo.

Trunojoyo berhasil dilumpuhkan dan takhta Kesultanan Mataram diberikan kepada Adipati Anom dengan gelar Amangkurat II.

Baca juga: Amangkurat I, Raja Kesultanan Mataram yang Zalim

VOC melakukan aneksasi

Sebagai imbalan atas pemberian bantuan militernya, VOC pada 1677 dan 1678 memberikan tiga berkas kontrak baru kepada Amangkurat II.

Kontrak baru tersebut menyatakan bahwa batas daerah VOC sebelah timur mencapai Sungai Pamanukan.

Selain itu, seluruh biaya perang yang dikeluarkan VOC harus dibayar oleh Amangkurat II. Apabila belum dapat dilunasi, maka semua pelabuhan di pantai utara sampai ujung paling timur Pulau Jawa harus digadaikan kepada VOC.

Selain itu, ekspor beras Mataram dan impor barang-barang manufaktur serta tekstil menjadi monopoli VOC.

Secara berangsur, wilayah kerajaan menyempit akibat aneksasi yang dilakukan VOC sebagai imbalan atas intervensinya dalam pertentangan di kalangan keluarga kerajaan.

Sebelum meninggal, Amangkurat II memindahkan ibu kota Mataram Islam ke Kartasura.

Intervensi VOC dalam pergantian penguasa Mataram

Intrik-intrik dan perselisihan di kalangan bangsawan keraton semakin menghebat setelah Amangkurat II meninggal.

Putranya yang bergelar Amangkurat III sempat menjadi raja, tetapi hanya bertahan selama dua tahun karena VOC menuduhnya terlibat dalam pemberian perlindungan kepada Untung Suropati.

Hal ini semakin mengundang campur tangan VOC dalam perebutan takhta Kerajaan Mataram.

VOC kemudian merekayasa agar paman Amangkurat III, Pangeran Puger, dapat menjadi raja dengan gelar Pakubuwono I.

Lagi-lagi, VOC meminta imbalan yang tertuang dalam kontrak atas jasanya membuat Pakubuwono I (1704-1719) menjadi raja.

Kontrak tersebut membuat Mataram kehilangan haknya atas Cirebon, Periangan, Sumenep, dan Pamekasan, serta pelayaran lautnya menjadi semakin terbatas.

Selama abad ke-18, VOC terus melakukan intervensi dalam pergantian penguasa Kerajaan Mataram.

Hal ini kemudian menjadi salah satu sebab meletusnya Perang Diponegoro (1825-1830).

Baca juga: Sebab Umum Terjadinya Perang Diponegoro

Politik pecah belah VOC

Pada masa pemerintahan raja-raja berikutnya, kondisi Kesultanan Mataram semakin tidak menentu dan pergolakan diakhiri melalui Perjanjian Giyanti, yang ditandatangani pada 13 Februari 1755.

Perjanjian ini menyebabkan Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua kekuasaan, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Perjanjian Giyanti sendiri merupakan bentuk politik adu domba VOC dengan memanfaatkan perselisihan antara Pangeran Mangkubumi dan Pakubuwono III.

Setelah itu, VOC masih terus memecah belah kekuasaan Mataram yang berakhir dengan Perjanjian Salatiga (1757), yang membagi Kasunanan Surakarta dengan Pura Mangkunegaran.

Selanjutnya, pada 1813, Kasultanan Yogyakarta dibagi juga dengan Pura Pakualaman.

 

Referensi:

  • Kecik, Hario. (2009). Pemikiran Militer 1: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
  • Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (Eds). (2008). Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com