Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Max Havelaar: Cerita, Kritik, dan Dampak

Kompas.com - 22/06/2021, 20:00 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

Sumber Kompas.com

KOMPAS.com - Max Havelaar adalah sebuah novel tahun 1860 yang ditulis oleh Multatuli, nama pena dari Edward Douwes Dekker. 

Edward Douwes Dekker sendiri berperan penting dalam membentuk dan memodifikasi kebijakan kolonial Belanda di Hindia Belanda pada ke-19. 

Dalam novel tersebut, Max Havelaar, mencoba berperang untuk melawan sistem pemerintahan yang korup di Jawa. 

Baca juga: Tuanku Imam Bonjol: Perjuangan, Perang Padri, dan Akhir Hidup

Kisah 

Pada pertengahan abad 19, kontrol kolonial Hindia Belanda telah beralih dari perusahaan Hindia Timur Belanda atau VOC ke permerintah Belanda akibat kegalalan ekonomi VOC.

Guna meningkatkan pendapatan, pemerintah kolonial Belanda pun menerapkan serangakaian kebijakan yang disebut Sistem Tanam atau cultuurstelsel.

Cultuurstelsel ini mengamanatkan petani Indonesia untuk menanam kuota tanaman komersiao, seperti gula dan kopi.

Selain itu, Belanda juga memperoleh pendapatan dengan penjualan opium atau getah bahan baku narkotika, kepada penduduk asli.

Perdagangan opium ini dimulai berabad-abad sebelum ada VOC.

Saat itu, opium menjadi salah satu pembunuh rasa sakit yang mengakibatkan kecanduan.

Sayangnya, dengan cara ini, sebagian besar penduduk asli masih tetap berkekurangan ekonomi.

Baca juga: Runtuhnya Kekaisaran Romawi

Kritik

Akhirnya, Multatuli atau Edward Douwes Dekker menulis Max Havelaar sebagai bentuk protes terhadap kebijakan kolonial ini. 

Namun, tulisan ini juga memiliki tujuan lain, yaitu untuk mencari rehabilitasi untuk pengunduran dirinya dari layanan pemerintah.

Dari tulisan ini, masyarakat Eropa mulai menyadari bahwa kekayaan yang mereka dapat merupakan hasil penderitaan di bagian lain dunia. 

Kesadaran ini kemudian membentuk motivasi kebijakan etis yang baru, di mana pemerintah kolonial Belanda berusaha untuk membayar hutang mereka kepada rakyat kolonial.

Pembayaran hutang ini dilakukan dengan memberikan pendidikan kepada beberapa kelas pribumi, umumnya anggota pelit yang setia kepada pemerintah kolonial.

Baca juga: Syarif Kasim II: Masa Muda, Kiprah, dan Perjuangan

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com