Pada 5 Oktober 1945, lahirlah Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Organisasi BKR-Laut pun otomatis tergabung menjadi TKR-Laut.
Oleh karena Markas Besar Umum (MBU) di Jakarta sudah tidak aman, maka MBU dipindah ke Yogyakarta.
R.E. Martadinata pun turut dipindahkan ke sana untuk membantu pimpinan MBU TKR-Laut.
Nama TKR-Laut pun berubah menjadi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pada 25 Januari 1946.
Ketika terjadi kericuhan di dalam ALRI, karena adanya dua pimpinan, yaitu antara MBU di Yogya dan MBU di Malang, Eddy mengajak untuk diadakan musyawarah.
R.E. Martadinata mengatakan bahwa perjuangan kita adalah untuk membela kepentingan negara dan bangsa, sehingga jauhkan sifat ambisi pribadi.
Pada 1949, setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, Eddy tetap bertahan di Angkatan Laut.
Ia mengawasi operasi angkatan laut di Sulawesi Selatan pada 1950, saat pemerintah pusat sedang menangani pemberontakan Makassar.
Tiga tahun kemudian, 1953, Eddy dikirim untuk belajar di Amerika Serikat.
Sekembalinya ke Indonesia, ia bertugas untuk mengawasi pembelian berbagai kapal untuk angkatan laut.
Baca juga: Tan Malaka: Masa Muda, Perjuangan, Peran, dan Akhir Hidupnya
Selama berkiprah di Angkatan Laut, penugasan yang pernah diemban oleh R.E. Martadinata adalah sebagai berikut:
Baca juga: Sri Susuhunan Pakubuwono VI: Kehidupan, Penangkapan, dan Akhir Hidupnya
Akhir
Saat ia kembali ke Indonesia, untuk menyambut hari ulang tahun ABRI ke-21, ia mendampingi tiga tamu Pakistan.
Mereka adalah Kolonel Laut Maswar bersama istrinya, serta Nyonya Raut, istri dari Deputi I Kepala Staff Angkatan Laut Pakistan.