Martadinata adalah seorang laksamana dan diplomat Angkatan Laut.
Martadinata memiliki jasa yang besar dalam membentuk dan memimpin Barisan Keamanan Rakyat (BKR) laut Jawa Barat.
BKR kemudian berganti nama menjadi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).
Kehidupan
R.E. Martadinata lahir pada 29 Maret 1921 di Lengkong Besar, Bandung.
Pada 1941, tokoh yang biasa disapa Eddy ini menamatkan sekolah dasar dan sekolah menengahnya.
Selesai sekolah, R.E. Martadinata pun berkeinginan untuk menjadi seorang pelaut.
Untuk bisa mencapai keinginannya, Eddy pun masuk pendidikan Sekolah Tinggi Pelayaran (STP) di Jakarta.
Pada 1 Agustus 1943, setelah selesai pendidikan, Eddy diangkat menjadi guru tetap di sekolah tersebut.
Setahun berselang, 1 September 1944, Eddy berhenti dari pekerjaannya, karena ia mendapat kepercayaan untuk menjadi Nahkoda Kapal Latih Dai 28 Sakura Maru.
Sebagai pelatih, ia bisa membimbing langsung para pemuda di atas kapal.
Menjelang dicetusnya proklamasi kemerdekaan Indonesia, para pelaut seperti R.E. Martadinata, R. Suryadi, Adam, Daryaatmaka, Suparlan, Achmad Hadi, Untoro Kusmardjo, dan Jasanatakusumah segera menggalang persatuan untuk menyongsong kemerdekaan.
Pada 10 September 1945, Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut Pusat dibentuk di Jakarta.
R.E. Martadinata ditunjuk sebagai pimpinan BKR-Laut Banten.
Ia bertugas untuk membendung merembesnya tentara Serikat ke Jawa Barat lewat laut.
Kiprah
Pada 5 Oktober 1945, lahirlah Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Organisasi BKR-Laut pun otomatis tergabung menjadi TKR-Laut.
Oleh karena Markas Besar Umum (MBU) di Jakarta sudah tidak aman, maka MBU dipindah ke Yogyakarta.
R.E. Martadinata pun turut dipindahkan ke sana untuk membantu pimpinan MBU TKR-Laut.
Nama TKR-Laut pun berubah menjadi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pada 25 Januari 1946.
Ketika terjadi kericuhan di dalam ALRI, karena adanya dua pimpinan, yaitu antara MBU di Yogya dan MBU di Malang, Eddy mengajak untuk diadakan musyawarah.
R.E. Martadinata mengatakan bahwa perjuangan kita adalah untuk membela kepentingan negara dan bangsa, sehingga jauhkan sifat ambisi pribadi.
Pada 1949, setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, Eddy tetap bertahan di Angkatan Laut.
Ia mengawasi operasi angkatan laut di Sulawesi Selatan pada 1950, saat pemerintah pusat sedang menangani pemberontakan Makassar.
Tiga tahun kemudian, 1953, Eddy dikirim untuk belajar di Amerika Serikat.
Sekembalinya ke Indonesia, ia bertugas untuk mengawasi pembelian berbagai kapal untuk angkatan laut.
Penugasan
Selama berkiprah di Angkatan Laut, penugasan yang pernah diemban oleh R.E. Martadinata adalah sebagai berikut:
Akhir
Saat ia kembali ke Indonesia, untuk menyambut hari ulang tahun ABRI ke-21, ia mendampingi tiga tamu Pakistan.
Mereka adalah Kolonel Laut Maswar bersama istrinya, serta Nyonya Raut, istri dari Deputi I Kepala Staff Angkatan Laut Pakistan.
Pada 6 Oktober 1966, diadakan perjalanan menggunakan helikopter Alloutte II milik ALRI yang dikemudikan oleh Letnan Laut Charles Willy Kairupan.
Ternyata di dalam perjalanan, helikopter tersebut menabrak bukit di Riung Gunung.
Kecelakaan ini menewaskan seluruh penumpang, salah satunya R.E. Martadiata.
Jenazah R.E. Martadinata disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Penghargaan
Atas jasanya, ia juga dikukuhkan menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.
Penghargaan lain yang juga diberikan kepada R.E. Martadinata adalah:
Tanda jasa yang diberikan dari Negara Sahabat:
https://www.kompas.com/stori/read/2021/06/22/090000879/raden-eddy-martadinata--kiprah-perjuangan-dan-karier-militer