Dalam perkembangannya, Siak terus menunjukkan dominasinya di kawasan perairan timur Sumatera, dengan mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka dan menaklukkan Mempawah di Kalimantan Barat.
Pada masanya, kerajaan ini juga menjadi salah satu pusat penyebaran dakwah Islam.
Pada masa sultan Siak ke-11, yaitu Sultan Syarif Hasyim, dibangunlah istana megah yang diberi nama Istana Asserayah Hasyimiah atau Istana Siak.
Puncak kejayaan Kerajaan Siak juga berlangsung pada pemerintahan Sultan Syarif Hasyim.
Kebesaran kerajaan ini dapat dilihat dari pesatnya perkembangan ekonomi kerajaan.
Selain itu, Sultan Syarif Hakim bahkan berkesempatan untuk berkunjung ke Eropa, yaitu Jerman dan Belanda.
Baca juga: Kerajaan Aceh: Raja-raja, Puncak Kejayaan, Keruntuhan, dan Peninggalan
Keruntuhan Kerajaan Siak diawali dengan ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatera.
Salah satu akibat dari ekspansi Belanda tersebut adalah wilayah kedaulatan Siak menjadi semakin sempit.
Pada 1840, Sultan Siak dipaksa untuk menandatangani perjanjian dengan Inggris, yang menyebabkan wilayahnya menjadi semakin sempit lagi.
Kemudian pada 1858, Kesultanan Siak benar-benar kehilangan kedaulatannya setelah menandatangani perjanjian dengan Belanda.
Perubahan ini juga membuat pengaruh hegemoni Siak atas wilayah-wilayah yang pernah dikuasainya lenyap.
Kendati demikian, Kesultanan Siak masih mampu bertahan sampai masa kemerdekaan Indonesia.
Barulah setelah Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, sultan terakhir Siak, Sultan Syarif Kasim II, menyatakan kerajaannya bergabung dengan Republik Indonesia.
Referensi: