Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

S Parman: Masa Muda, Karier Militer, dan Akhir Hidup

Kompas.com - 12/05/2021, 14:51 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman atau yang dikenal S. Parman adalah salah satu Pahlawan Revolusi Indonsia asal Wonosobo, Jawa Tengah. 

Letjen TNI S. Parman wafat karena dibunuh pada peristiwa G30S/PKI. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. 

Baca juga: Dr. Moewardi: Kehidupan, Perjuangan, dan Jasa-jasanya

Masa Muda

S. Parman lahir di Wonosobo, Jawa Tengah. Pada 1940, ia lulus dari sekolah tinggi di Kota Belanda dan lanjut ke sekolah kedokteran. 

Namun, ia tidak dapat menyelesaikan pendidikan dokternya karena Jepang sudah lebih dulu datang menjajah Indonesia. 

S. Parman kemudian bekerja untuk polisi militer Kempeitai Jepang. 

Tetapi, ia ditangkap karena pihak Jepang meragukan kesetiaan dari S. Parman, namun setelah itu S. Parman dibebaskan. 

Setelah bebas, S. Parman dikirim ke Jepang untuk melakukan pelatihan intelijen. Ia juga diminta bekerja lagi untuk Kempeitai. 

Baca juga: Fakhruddin: Kehidupan, Kiprah Politik, dan Sumbangsih di Bidang Agama

Karier Militer

Karier S. Parman bermula saat melakukan pertemuan dengan pasukan Jepang yang bergerak ke beberapa kota di Jawa Tengah.

Pasukan Jepang saat itu sedang membutuhkan penerjemah, sehingga S. Parman pun dibawa oleh Kempeitai (polisi militer Jepang) ke Yogyakarta. 

Kemudian, ia diangkat sebagai perwira sipil Kempeitai.

Setelah proklamasi diikrarkan, S. Parman bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). 

Ia sendiri diangkat menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi Tentara (MBT) di Yogyakarta dengan pangkat kapten. 

Pada 1948, S. Parman sempat ditangkap akibat kesalahpahaman.  Sang kakak, Ir. Sakirman, ikut dalam pemberontakan PKI di Madiun. 

Saat itu, S. Paraman sedang menjabat sebagai Kepala CPM (Corps Polisi Militer) Markas Besar Komando Jawa tidak dapat menyembunyikan dan membantu pemberontak. 

Namun, S. Parman dibebaskan setelah terbukti tidak bersalah.

Empat tahun kemudian, 1949, ia diangkat menjadi Kepala Staf untuk Gubernur Militer Jabodetabek dan dipromosikan menjadi mayor.

Pada masa jabatannya ini, S. Parman berhasil menggagalkan plot oleh Angkatan Perang Ratu Adil atau APRA, kelompok pemberontak yang dipimpin Raymond Westerling. 

Saat itu, APRA berencana untuk membunuh komandan menteri pertahanan dan angkatan bersenjata.

Pada 1951, S. Parman dikirim ke Sekolah Polisi Militer di Amerika Serikat untuk mengikuti pelatihan lebih lanjut. 

11 November 1951, S. Parman diangkat menjadi komandan Polisi Militer Jakarta. 

Kemudian, S. Parman menduduki sejumlah posisi di Polisi Militer Nasional dan Departemen Pertahanan Indonesia sebelum dikirim ke London sebagai atase militer Kedutaan Indonesia. 

Pada 28 Juni, dengan pangkat Mayor Jenderal, S. Parman diangkat menjadi asisten pertama dengan tanggung jawab untuk intelijen untuk Kepala Staf Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani.

Baca juga: Cipto Mangunkusumo: Pendidikan, Peran, Perjuangan, dan Akhir Hidupnya

Akhir Hidup

S. Parman menjadi salah satu korban yang tewas terbunuh dalam Gerakan 30 September (G30S). S. Parman dituduh sebagai anggota Dewan Jenderal yang akan mengudeta Presiden Soekarno.

Pada malam 30 September - 1 Oktober, tidak ada penjaga yang mengawasi rumah S. Parman di Jalan Syamsurizal No. 32. 

Pada waktu pagi hari, sekitar pukul 4, S. Parman dan istrinya terbangun karena mendengar sebuah suara dari samping rumah mereka. 

S. Parman pun pergi untuk menyelidiki. Sesaat kemudian, ia melihat ada 24 pria dalam seragam Cakrabirawa (penjaga istana) menuju ke ruang tamu. 

Mereka mengatakan bahwa S. Parman harus dibawa untuk bertemu dengan Presiden. Sekitar 10 orang pergi ke kamar tidur saat S. Parman tengah berpakaian. 

S. Parman pun meminta sang istri untuk menelepon komandannya, Ahmad Yani. Tetapi kabel telepon sudah diputus. 

Ia kemudian dimasukkan ke dalam truk dan dibawa ke basis gerakan di Lubang Buaya. 

Malam itu, bersama para tentara lain, S. Parman ditembak mati dan tubuhnya dibuang ke sumur bekas. 

Tubuh semua korban hari itu ditemukan pada 4 Oktober. Pemakaman kenegaraan pun diberikan pada 5 Oktober. 

Sebelum S. Parman disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, di hari yang sama, melalui SK Presiden Nomor 111/KOTI/1965, Presiden Soekarno mengukuhkan S. Parman sebagai Pahlawan Revolusi. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com