Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cipto Mangunkusumo: Pendidikan, Peran, Perjuangan, dan Akhir Hidupnya

Kompas.com - 11/05/2021, 17:12 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

Pada kongres pertama Budi Utomo di Yogyakarta, jati diri politik Cipto semakin terlihat. 

Namun, pada kongres tersebut terjadi perpecahan antara Cipto dengan Radjiman Wedyodiningrat, anggota Budi Utomo lainnya. 

Cipto menginginkan Budi Utomo menjadi organisasi politik yang harus bergerak secara demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia.

Budi Utomo harus menjadi pimpinan bagi rakyat dan jangan mencari hubungan dengan atasan, bupati, dan pegawai tinggi lainnya.

Sedangkan Radjiman menginginkan Budi Utomo sebagai suatu gerakan kebudayaan yang bersifat Jawa. 

Akibat dari perselisihan tersebut, Cipto akhirnya mengundurkan diri dari Budi Utomo, karena menganggap organisasi ini tidak mewakili aspirasinya. 

Baca juga: Ferdinand Lumban Tobing: Pendidikan, Perjuangan, dan Perannya

Indische Partij 

Setelah mundur dari Budi Utomo, Cipto membuka praktik dokter di Solo. 

Ia turut ambil peran dalam pemberantasan wabah pes di Malang pada 1911. 

Berkat jasa itulah, Dokter Cipto mendapat bintang emas, penghargaan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. 

Meskipun demikian, Cipto tetap bertahan dalam dunia politik. 

Perhatiannya kepada politik pun semakin bertambah setelah dia bertemu dengan Ernest Douwes Dekker (Danurdirdja Setiabudi) dan Soewardi Soerjaningrat. 

Mereka kemudian disebut sebagai Tiga Serangkai. Ketiga tokoh ini mendirikan Indische Partij pada 1912. 

Indische Partij merupakan bentuk upaya mewakili kepentingan-kepentingan semua penduduk Hindia Belanda, tanpa memandang suku, golongan, dan agama. 

Baca juga: Abdul Muis: Kehidupan, Pekerjaan, Politik, dan Karya

Komite Bumi Putera

Pada November 1913, Belanda memperingati 100 tahun kemerdekaannya dari Prancis. 

Peringatan tersebut diadakan secara besar-besaran di Hindia Belanda. 

Bagi Cipto, perayaan tersebut menjadi sebuah penghinaan terhadap rakyat bumi putera yang sedang dijajah. 

Cipto bersama Suwardi kemudian mendirikan komite perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dengan nama Komite Bumi Putera. 

Komite ini merencanakan mengumpulkan uang untuk mengirim telegram kepada Ratu Wilhelmina, Ratu Belanda. 

Isi telegram tersebut adalah agar pasal pembatasan kegiatan politik dan membentuk parlemen dicabut.

Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913.

Saat itu, harian De Express menerbitkan artikal milik Ki Hadjar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) berjudul Als Ik Een Nederlander Was atau andaikan saya seorang Belanda. 

Pada hari selanjutnya, Cipto menulis artikel yang mendukung Ki Hadjar Dewantara untuk memboikot perayaan kemerdekaan Belanda. 

Karena tulisan itu, Cipto dan Ki Hadjar Dewantara dipenjarakan pada 30 Juli 1913.

Pada 18 Agustus 1913, keluar surat keputusan untuk membuang Cipto bersama Ki Hadjar Dewantara dan Ernest Douwes Dekker ke Belanda.

Mereka dibuang karena melakukan kegiatan propaganda anti Belanda dalam Komite Bumi Putera. 

Selama masa pembuangan, ketiga tokoh ini tetap melancarkan aksi politiknya.

Mereka menerbitkan majalah De Indier guna menyadarkan masyarakat belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan situasi tanah jajahan. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com