Mereka juga menerbitkan jurnal Indische Vereeniging (perkumpulan sosial mahasiswa Indonesia), yaitu Hindia Poetra pada 1916.
Baca juga: Purnawarman: Silsilah, Masa Pemerintahan, dan Peninggalan
Pada 1914, Cipto bergabung dengan Insulinde, perkumpulan yang menggantikan Indische Partij.
Di sana, ia melancarkan aksi propaganda untuk Insulinde.
Akibat propaganda tersebut, jumlah anggota Insulinde pada 1915 yang mulanya berjumlah 1.009 meningkat menjadi 6.000 orang pada 1917.
Pada Oktober 1919, anggota Insulinde mencapai 40.000 orang.
Kemudian, pada 18 Mei 1918, pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat).
Pembentukan Volksraad ini menjadi tempat bagi Cipto untuk menyatakan kritiknya terhadap Volksraad yang dianggap sebagai lembaga untuk mempertahankan kekuasaan penjajah dengan kedok demokrasi.
Pada 25 November 1919, Cipto berpidato di Volksraad.
Dalam pidatonya ia mengemukakan persoalan tentang persekongkolan Sunan dan residen dalam menipu rakyat.
Pidato tersebut membuat pemerintah Hindia Belanda menganggap Cipto sebagai orang yang berbahaya.
Sehingga Dewan Hindia pada 15 Oktober 1920 mengusulkan untuk mengusir Cipto ke daerah yang tidak berbahasa Jawa.
Namun, pembuangan Cipto ke daerah Jawa, Madura, Aceh, Palembang, Jambi, dan Kalimantan Timur tetap saja membahayakan pemerintah.
Oleh karena itu, Dewan Hindia berdasarkan surat kepada Gubernur Jenderal mengusulkan untuk mengusir Cipto ke Kepulauan Timor.
Pada tahun itu juga, Cipto dibuang dari daerah yang berbahasa Jawa tetapi masih di Pulau Jawa, yaitu Bandung.
Di sana ia kembali membuka praktik dokter selama tiga tahun. Ia juga bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda, Soekarno.
Pada 1923, mereka membentuk Algemeene Studieclub atau klub kuliah umum. Pada 1927, Algemeene Studieclub berubah nama menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI).
Pada masa pengasingan, penyakit asma Cipto kambuh.
Ketika Cipto diminta untuk menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke Jawa dengan melepaskan hak politiknya, namun Cipto menolak dengan tegas.
Ia mengatakan bahwa dirinya lebih baik mati di Banda daripada harus melepaskan hak politiknya.
Cipto kemudian dialihkan ke Bali, Makasar. Pada 1940, ia dipindahkan ke Sukabumi.
Cipto Mangunkusumo meninggal dunia pada 8 Maret 1943 akibat penyakit asma.
Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Ambarawa.
Pada 19 Desember 2016, Pemerintah Republik Indonesia mengabadikan beliau di pecahan uang logam rupiah baru, Rp 200.
Pada 17 Agustus 1964, namanya diabadikan sebagai Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Jakarta Pusat.
RSCM dulunya adalah Centraal Burgerlijke Ziekenhuis (CBZ), rumah sakit yang menjadi satu dengan STOVIA.
Referensi: