KOMPAS.com - Zainal Mustafa adalah pemimpin sebuah pesantren di Tasikmalaya dan pejuang Islam pertama dari Jawa Barat yang melakukan pemberontakan terhadap Jepang.
Sejak tahun 1940, Zaenal Mustafa sudah sering menunjukkan sikap perlawanan terhadap pendudukan penjajah melalui ceramah dan khutbah-khutbahnya.
Baca juga: Faktor Kemunduran Peradaban Islam
Zainal Mustafa atau yang masa kecilnya bernama Hudaemi menjalani pendidikan formalnya di Sekolah Rakjat.
Ia mendalami soal bidang agama dan belajar mengaji dari guru agama di kampungnya.
Pertama kali, Zainal melanjutkan pendidikannya ke pesantren di Gunung Pari.
Sejak saat itu, selama 17 tahun, ia terus mendalami ilmu agama dari satu pesantren ke pesantren lainnya.
Pada tahun 1927, saat ia kembali dari ibadah haji, Zainal mendirikan pesantren di Kampung Cikembang dengan nama Sukamanah.
Melalui pesantren ini, ia menyebarluaskan ilmu agama Islam, terutama paham Syafi'i.
Zainal Mustafa pun terus bertumbuh menjadi pemimpin dari kegiatan-kegiatan keagamaan.
Tahun 1933, ia masuk Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) dan diangkat menjadi wakil ro'is Syuriah NU cabang Tasikmalaya.
Baca juga: Sejarah Partai Syarikat Islam
Zainal Mustafa selalu menyerang kebijakan politik kolonial Belanda melalui ceramah-ceramahnya.
Atas kejadian itu, ia pun selalu mendapatkan peringatan dan bahkan tidak jarang diminta turun paksa dari mimbar oleh para kyai yang mendukung Belanda.
Pada saat Perang Dunia II, tepatnya 17 November 1941, Zaenal Mustafa bersama Ruhiat, haji Syirod, dan Hambali Syafei ditangkap Belanda atas tuduhan menghasut rakyat untuk memberontak pemerintah Hindia Belanda.
Ketiga tokoh ini ditahan di penjara Tasikmalaya.
Sehari kemudian, mereka dipindahkan ke penjara Sukamiskin, Bandung, dan baru dibebaskan pada 10 Januari 1942.
Meskipun sudah pernah dipenjara, Zainal tidak menghentikan aksinya.
Akhir Februari 1942, Zainal Mustafa bersama Ruhiat kembali ditangkap dan dimasukkan ke penjara Ciamis atas tuduhan yang sama.
Baca juga: Organisasi Pergerakan Islam Indonesia
Pasca perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, sikap Zainal tetaplah sama, ia menentang pelaksanaan seikeirei, yaitu memberi hormat kepada kaisar Jepang dengan menundukkan badan.
Pada 25 Februari 1944, Zainal Mustafa mengadakan perlawanan terhadap Jepang.
Ia melakukan sabotase, memutuskan kawat-kawat telepon, dan membebaskan para tahanan politik.
Untuk melancarkan aksinya ini, Zainal meminta para santrinya untuk menyiapkan bambu runcing dan golok serta berlatih silat.
Pemberontakan pun terjadi antara Zainal dan kawanannya melawan Jepang.
Dari peristiwa tersebut, dampak yang terjadi adalah: