Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

5 Tokoh Pemberontakan DI/TII

KOMPAS.com - Gerakan Darul Islam (DI) adalah gerakan politik yang bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).

Gerakan DI mempunyai pasukan yang disebut Tentara Islam Indonesia (TII), yang kemudian melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Indonesia.

Oleh karena itu, gerakan pemberontakannya disebut dengan Pemberontakan DI/TII.

Pemberontakan DI/TII pertama kali meletus di daerah Jawa Barat, kemudian merambat ke beberapa wilayah Indonesia.

Pemberontakan DI/TII terjadi di lima daerah, di antaranya:

  • Pemberontakan DI/TII Jawa Barat
  • Pemberontakan DI/TII Jawa Tengah
  • Pemberontakan DI/TII Sulawesi Selatan
  • Pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan
  • Pemberontakan DI/TII Aceh

Berikut ini tokoh Pemberontakan DI/TII dari masing-masing wilayah.

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo

Pemberontakan DI/TII Jawa Barat dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, atau lebih akrab dipanggil Kartosoewirjo.

Kartosoewirjo tidak hanya dikenal sebagai pelopor dan pemimpin DI/TII Jawa Barat, tetapi juga didaulat menjadi pemimpin tertinggi dari Negara Islam Indonesia.

Kartosoewirjo memimpin pemberontakkan pada 7 Agustus 1949. Latar belakang Pemberontakan DI/TII Jawa Barat adalah ketidakpuasan terhadap pemerintah Indonesia atas Perjanjian Renville, yang dinilai tidak dapat melindungi wilayah Jawa Barat.

Sebagai respons, ia ingin mendirikan negara Islam dengan nama Negara Islam Indonesia (NII).

Operasi Pagar Betis dilancarkan pemerintah untuk mengatasi pemberontakan DI/TII di Jawa Barat yang dipimpin oleh Kartosoewirjo.

Pada 4 Juni 1962, Kartosoewirjo akhirnya ditangkap oleh pemimpin Kompi C Batalyon 328 Kujang II/Siliwangi, Letda Suhanda.

Sama seperti DI/TII Jawa Barat, pemberontakan di Jawa Tengah juga dilatarbelakangi oleh kekecewaan terhadap pemerintah Indonesia atas Perjanjian Renville, yang dinilai merugikan pihak Indonesia.

Alhasil, Amir Fatah memilih untuk bergabung dengan NII pada 23 Agustus 1949.

DI/TII pimpinan Amir Fatah beroperasi di daerah Brebes dan Tegal. Untuk melemahkan kekuatan para tentara Amir Fatah, tentara Indonesia membentuk Gerakan Banteng Nasional (GBN).

Pada 22 Desember 1950, Amir Fatah dan para pengikutnya akhirnya dibekuk dan dipenjara.

Pemberontakan DI/TII Sulawesi Selatan disebabkan oleh kekecewaan Kahar Muzakkar atas keputusan pemerintah Indonesia yang menolak semua anggota Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) untuk masuk ke Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).

Menurut kebijaksanaan Pemerintah Indonesia, untuk masuk sebagai anggota APRI harus melalui seleksi.

Merasa perjuangannya dan rekan-rekannya untuk tanah air tidak dihargai, Kahar Muzakkar menyatakan menggabungkan kekuatannya dengan gerakan DI/TII pimpinan Kartosoewirjo di Jawa Barat pada 7 Agustus 1953.

Setelah menjadi bagian dari gerakan DI/TII, Kahar Muzakkar diangkat sebagai Panglima Divisi IV TII (Divisi Hasanuddin).

Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan berakhir ketika Kahar Muzakkar tewas ditembak dalam sebuah penyergapan di dalam hutan pada 1965.

Pemimpin DI/TII Kalimantan Selatan bernama Ibnu Hadjar, seorang Letnan Dua Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Pemicu pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan adalah kekecewaan Ibnu Hadjar terhadap reorganisasi TNI, terutama terkait ALRIS Divisi IV, unit di mana ia bertugas.

Reorganisasi tersebut menyebabkan beberapa anggota ALRIS Divisi IV diberhentikan karena dianggap tidak memenuhi syarat.

Ibnu Hadjar kemudian membentuk gerakan Kesatuan Rakyat Yang Tertindas (KRYT) dan menyatakan gerakannya sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwirjo.

Realisasi gerakannya dilakukan pada Oktober 1950, dengan melakukan serangan terhadap pos-pos APRIS di Kalimantan Selatan.

Pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan dapat ditumpas pada akhir 1959. Sedangkan Ibnu Hadjar dan sisa-sisa pasukannya baru menyerah pada Juli 1963.

Pada 11 Maret 1965, Ibnu Hadjar menerima vonis hukuman mati dan dieksekusi pada 22 Maret 1965.

Penyebab Pemberontakan DI/TII di Aceh pada 20 September 1953 adalah kekecewaan para tokoh masyarakat di Aceh akibat Provinsi Aceh dilebur dengan Provinsi Sumatera Utara, dengan ibu kota di Medan.

Keputusan itu dianggap sebagai penghinaan terhadap peran besar masyarakat Aceh dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Daud Beureueh juga kecewa terhadap Presiden Soekarno, yang sebelumnya berjanji bahwa Aceh dapat menjalankan syariat Islam dan tetap menjadi provinsi pada 1948.

Merasa telah dikhianati, Daud Beureueh memberontak dan bergabung dengan DI/TII yang dipimpin oleh Kartosoewirjo.

Pemberontakan DI/TII di Aceh dapat diselesaikan secara musyawarah pada 1962.

https://www.kompas.com/stori/read/2024/04/15/170000679/5-tokoh-pemberontakan-di-tii

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke