Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

"Noblesse Oblige"

Pemandian berukuran luas, ditambah pemandangan pegunungan sekitar dan sungai mengalir di dekatnya, merupakan magnet yang membuat lokasi ini banyak dikunjungi orang.

Dua tahun sebelum pandemi, saya kembali ke sana. Namun keadaan sudah jauh berubah. Kolam menjadi kecil dan nampak tidak terawat.

Saya sempat masuk ke onsen, namun tak berlama-lama seperti biasa karena tidak dapat menikmati suasana.

Sebelum meninggalkan tempat, sempat bercakap-cakap dengan dua orang yang baru tiba. Mereka ternyata sering kesini sejak lama, karena tinggal dekat dari lokasi.

Mereka juga paham bahwa keadaan onsen sudah jauh berbeda. Akan tetapi, mereka berkata tetap menikmatinya, dengan perasaan tak berubah semenjak pertama kali menikmati pemandian air panas puluhan tahun lalu.

Dengan cerita ini saya ingin mengatakan bahwa persepsi orang terhadap hal sama, bisa saja berbeda.

Saya yang baru dua kali kesana merasa kecewa dengan keadaan pemandian air panas sekarang. Dua orang yang saya temui ternyata punya perasaan berbeda.

Begitu juga dengan dapur orang. Kita tidak mampu mengetahui keadaan sebenarnya. Baik itu dapur organisasi, dapur partai, apalagi dapur presiden, misalnya.

Orang bisa saja mencium bau gorengan ikan ketika berada di komplek perumahan. Akan tetapi, sulit untuk mengetahui dengan pasti, dapur (rumah) mana yang menggoreng ikan.

Suhu politik di Indonesia mulai memanas, apalagi setelah pengumuman capres dan cawapres. Saya ingin nimbrung pada topik yang ramai dibicarakan masyarakat, meskipun masih ingusan dalam urusan politik.

Alasan keinginan urun rembuk, karena ada yang bilang kalau tidak suka, ya tidak usah dipilih. Pendapat saya, masalahnya bukan di situ. Ucapan itu justru mengaburkan esensi persoalan.

Dari polemik yang ada, saya ingin ambil dua contoh saja, yaitu mengenai dinasti dan umur muda.

Mari kita ulas polemik pertama. Berbicara tentang dinasti, kita tahu ini terjadi bukan hanya di Indonesia. Di Jepang pun biasa terjadi.

Contohnya, almarhum Abe Shinzo, mempunyai kakek Kishi Nobusuke yang menjabat sebagai Perdana Menteri Jepang ke-56 dan 57.

Anak mantan Perdana Menteri Jepang juga banyak yang jadi politisi, bahkan menduki posisi menteri seperti Koizumi Shinjiro, anak mantan PM Koizumi Junichiro.

Bedanya dengan Indonesia, mereka menjadi politisi atau menteri setelah orangtuanya tidak mempunyai jabatan di pemerintahan.

Sebenarnya ada satu pertanyaan penting mengenai dinasti. Apakah mereka meneruskan kekuasaan karena melihat pendahulunya gigih dalam bekerja, mengabdi kepada masyarakat, atau menciptakan pembaruan?

Atau sebaliknya, apakah mereka melihat enaknya mempunyai kekuasaan? Mempunyai kemudahan untuk melakukan segala sesuatu, bahkan mendapat puji-pujian di mana-mana?

Menurut pengalaman, saya melihat dinasti umumnya terjadi pada keadaan atau posisi "enak", misalnya di perusahaan milik keluarga yang besar, atau pada dunia perpolitikan.

Jarang terlihat dinasti terjadi pada orang atau pengusaha kecil, pada usaha rakyat perorangan seperti petani atau nelayan.

Saya tidak tahu alasan maupun jawabannya karena sekali lagi, keadaan dapur orang sulit diketahui dan ditebak dari luar atau oleh orang luar.

Kemudian masalah orang muda. Sebagai bagian dari orang muda, saya setuju kalau ada orang seumuran yang ingin duduk di pemerintahan. Untuk posisi tinggi seperti cawapres pun, saya tidak ada masalah.

Bagi saya umur muda, pernah atau tidaknya duduk di pemerintahan bukanlah halangan. Namun, pengetahuan dan kematangan pribadi adalah hal yang menentukan.

Analoginya begini. Orang yang bisa naik sepeda, mungkin dapat naik motor juga. Namun, perlu diingat bahwa untuk mahir naik motor, harus ada persiapan karena motor lebih kompleks dibandingkan dengan sepeda. Banyak hal lain yang perlu dipelajari.

Misalnya saja ada kopling, persneling, busi, dan masih banyak bagian lain yang harus diperhatikan ketika naik motor.

Ukuran dan berat antara sepeda dan motor juga berbeda. Kecepatan antara keduanya pun jelas berlainan. Sebagai catatan, sepeda di sini maksudnya sepeda biasa, bukan sepeda yang digunakan saat sport, misalnya, sepeda balap.

Karena perbedaan mencolok antara keduanya, kita harus memiliki pengetahuan dan kematangan untuk menggendarai, sehigga lebih berhati-hati ketika naik motor dibandingkan dengan saat naik sepeda.

Itu penting karena kalau ada yang tidak beres, akibatnya dapat lebih fatal dibandingkan dengan sepeda. Misalnya, bukan saja diri sendiri celaka, namun orang lain pun bisa celaka atau terkena akibatnya.

Satu lagi mengenai polemik orang muda terutama untuk posisi tinggi di pemerintahan, masalahnya bukan usia. Saya berpendapat, esensinya ada pada bagaimana proses sampai saat terpilihnya.

Tinjauan masalah hukum saya kira sudah banyak dibahas oleh pengamat dan pakar. Sebagai seorang engineer, saya akan berbicara dari pengalaman, yaitu dari sudut pandang kontrol kualitas.

Untuk menghasilkan barang atau produk akhir yang maksimal, kontrol kualitas harus diterapkan pada setiap tahapan proses. Mulai dari perencanaan, pembuatan prototipe dan saat melakukan testing yang diulang, kemudian setelah desain ditetapkan masuk tahap produksi, terakhir pengepakan sebelum barang dipasarkan.

Semua tahap itu berhubungan dan terpadu. Satu bagian di awal tidak dapat dipisahkan dari bagian akhir. Tidak bisa melompat, mengangkangi tahap awal, maunya langsung hantam kromo langsung tahap akhir saja.

Ada banyak hal penting yang dapat dipelajari saat proses, kemudian hasil akhir sebagai tahap pencapaian. Tidak bisa whoosh, langsung dilompati menggunakan jalan pintas.

Jika kontrol kualitas diterapkan pada proses loncat ini, maka kita boleh (baca:wajib) mempertanyakan hasilnya.

Sekali lagi untuk menegaskan, omongan kalau tidak suka ya jangan dipilih, menurut saya, hanya mau enaknya dan lari dari esensi masalah.

Suhu politik di Indonesia memang mulai memanas. Berlawanan dengan hal tersebut, suhu udara di Tokyo mendingin karena memasuki musim gugur.

Sambil memandangi dedaunan mulai berganti warna, angan-angan melayang ke Eropa tepatnya Perancis pada masa awal abad ke 19. Ada istilah yang lahir pada saat itu, yaitu Noblesse Oblige.

Ini merupakan pandangan moral dasar yang melingkupi masyarakat terutama di barat. Bahwa orang-orang berstatus tinggi, mempunyai tanggung jawab dan kewajiban sosial yang harus dipenuhi sesuai dengan posisinya.

Norma dan etika di masyarakat harus diperhatikan. Sehingga perilaku individu selayaknya tidak mengutamakan kepentingan sendiri.

Sebelum menutup tulisan, saya ingin menegaskan dukungan seratus persen untuk Pilpres 2024 dan akan berpartisipasi aktif meskipun jauh dari Tanah Air. Alasannya, karena masih ingin terus punya Tanah Air yang bisa saya banggakan.

Terutama saya masih ingin punya tempat di mana dapat bercengkrama dengan teman dan keluarga, ketika pulang kampung nanti.

Negara tidak boleh jatuh ke tangan yang salah. Mari menentukan pilihan menggunakan nalar dan logika.

Selamat berakhir pekan.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/10/29/152318479/noblesse-oblige

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke