Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Angka dan Kehidupan

Sebenarnya ini bukan lagu baru. Billy Ban Ban menciptakan dan menyanyikan lagu ini tahun 1986, sudah populer saat itu.

Dibandingkan grup yang menyanyikan pertama kali, saya merasa Sakamoto Fuyumi mampu membawakan lagu ini menjadi lebih "hidup".

Suaranya bisa menggetarkan hati, ditambah lagi pendengar bisa lebih menikmati syair lagu, dan terbawa pada suasana yang diceritakan.

Saya tidak bosan untuk mendengarkan, bahkan menyanyikannya. Musiknya, mampu membuat saya untuk menikmati kehidupan.

Angka

Saat ini, dan terutama beberapa bulan ke depan, dapat dipastikan bahwa kita akan dibanjiri dengan "angka" yang berhubungan dengan Pemilu.

Contohnya, jika si A berpasangan dengan si B, maka kemungkinan menang sekian persen. Atau hasil survei dari lembaga Z menyatakan elektabilitas A teratas dengan angka sekian persen, B sekian persen, C di posisi bontot dengan sekian persen.

Belum lagi perdebatan mengenai angka. Para pakar sudah dipastikan menggunakan angka yang sama dalam berbagai kesempatan. Entah itu perdebatan di televisi, media penyiaran daring dalam bentuk streaming, juga melalui tulisan.

Tidak ketinggalan, masyarakat tentu membicarakan angka ini saat kongko di warung-warung kopi, dalam perjalanan ke kantor, maupun saat jam makan siang.

Bisa jadi mereka membicarakannya ketika bertemu rekanan, perjalanan pulang ke rumah, bahkan dalam keluarga.

Angka memang mempunyai daya magnet tersendiri. Hasil jajak pendapat yang berhubungan dengan pemilu, biasanya dipaparkan secara simpel, dengan besar kecilnya angka. Ini pasti amat disukai oleh masyarakat.

Pada zaman kiwari, orang lebih suka pada hal-hal praktis, bukan pada hal yang perlu pemikiran lebih lanjut.

Orang yang melihat atau membaca hasil survei, dengan mudah menganggap bahwa angka besar (hasil survei dengan persentase besar), lebih superior dibandingkan dengan angka yang lebih kecil.

Mereka yang membaca hasil survei tidak ambil pusing tentang bagaimana survei itu dilakukan. Boleh jadi mereka juga tidak mengerti secara lebih mendalam, bagaimana proses penghitungannya.

Misalnya tentang bagaimana dan di mana sampel itu diambil. Siapa saja yang ditanyai, bagaimana profesi mereka, berapa umurnya, asal daerah (kelahiran), dan lain-lain yang tentunya mempunyai pengaruh besar terhadap hasil survei.

Angka-angka memang sebaiknya tidak dimaknai begitu saja. Misalnya hanya melihat besar kecilnya, lalu menyimpulkan bahwa "angka besar" itu mengungguli yang kecil.

Minggu lalu, saya tertarik dan membeli satu buku saat jalan-jalan sore ke Maruzen yang lokasinya dekat apartemen.

Judulnya amat menarik, kalau boleh dikatakan secara ekstrem, sedikit provokasi. Jika diterjemahkan secara bebas, judul bukunya "Bagaimana Cara Berbohong Menggunakan Statistik".

Setelah saya baca di rumah, ternyata buku ini adalah terjemahan bahasa Jepang dari buku yang dikarang oleh Darrell Huff dengan judul "How to Lie with Statistics"(1954).

Buku menarik yang menceritakan angka (dalam hal ini statistik). Ada banyak contoh dan analisis yang dipaparkan.

Inti dari buku adalah, ada hal yang perlu diperhatikan dalam pemaparan angka, terutama bila dituliskan di media.

Alasannya, boleh jadi ada tujuan tertentu orang menggunakan angka tertentu. Ini bukan berarti bahwa datanya tidak valid secara keilmuan.

Akan tetapi, kita harus mencerna lebih jauh, bukan menerima dan menelan mentah-mentah saja data yang disampaikan. Kalau kita tidak paham, misalnya, bagaimana datanya diambil, bagaimana cara penghitungannya, dan sebagainya, maka orang dapat terkecoh.

Manusia sebenarnya makhluk yang bisa bergembira dengan angka. Salah satu alasannya, karena manusia mengerti dan mengenali angka. Berbeda dengan binatang, di mana mereka tidak tahu dan tidak mengenal angka.

Ada beberapa cerita menarik mengenai binatang dan angka, seperti dituliskan oleh Yano Kentaro dalam bukunya "Suugaku Monogatari"(1961) atau Cerita Matematika.

Dalam beberapa penelitian, ada kemungkinan binatang seperti gagak dan simpanse mengenali angka, meskipun tidak seperti manusia dalam mengenali angka. Binatang yang disebut tadi dinyatakan bisa mengenali dalam jumlah terbatas, yaitu kurang dari empat.

Masih dari buku sama, beberapa kebudayaan kuno seperti Mesir dan Babilonia, dikenal menggunakan angka beribu tahun sebelum masehi karena kebutuhan sehari-hari.

Misalnya untuk menghitung kapan waktu tepat untuk bercocok tanam, atau untuk menghindari banjir dengan menghitung siklus musim.

Kita tahu kebanyakan kebudayaan kuno berkembang di sekitar sungai besar seperti Sungai Nil, Sungai Efrat dan Tigris. Daerah itu rentan dengan banjir, sehingga perhitungan dengan angka untuk mengatasi/menghindar dari banjir, merupakan hal penting karena berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari.

Selain untuk menunjang kehidupan sehari-hari, angka juga merupakan hasil pemikiran mendalam. Seperti ketika Leibniz, seorang filsuf Jerman merumuskan bilangan biner (hanya dua unsur, nol dan satu) pada 1696.

Menurut Leibniz, bilangan biner mempunyai makna lebih dari unsur matematis. Dia menyatakan nol melambangkan kekosongan, sedangkan satu adalah lambang dari tuhan.

Angka biner merupakan representasi dari alam semesta, dan mengandung makna yang jauh lebih dalam daripada angka desimal.

Menjelang pesta demokrasi, kita harus bersiap dicekoki dengan angka-angka.

Sebagai engineer, saya sudah tidak asing lagi dengan angka. Karena dalam pekerjaan, angka bukan saja berfungsi sekadar alat. Angka sebagai hasil penghitungan, sangat membantu untuk merumuskan masalah yang ada, kemudian mencari solusi dengan mendesain sesuatu, yang nantinya digunakan oleh masyarakat.

Akan tetapi, jika boleh untuk berkata jujur, sebenarnya saya tidak begitu tertarik dengan angka yang digunakan, dan berhubungan dengan pesta demokrasi. Misalnya, hasil jajak pendapat. Mengapa bisa begitu?

Kerena angka yang ditampilkan, secara pribadi tidak menggetarkan hati. Sekali dibaca, kemudian tenggelam dan hilang begitu saja tanpa ada saripati (baca: makna) yang bisa diserap.

Saya tentu hendak berpartisipasi dalam pesta demokrasi. Alasannya, seperti namanya "pesta", sesungguhnya pesta demokrasi harus membuat kita bergembira. Bersukaria dengan angka, bukanlah tujuan utama.

Pesta hendaknya membuat masyarakat lebih menikmati hidup dan kehidupan. Bukan pesta yang dicapai dengan pamer angka, menghamburkan uang, apalagi pesta untuk gontok-gontokan, walaupun sebatas pada dunia maya.

Pesta demokrasi yang membuat kehidupan lebih hidup, niscaya dinikmati oleh masyarakat. Persis seperti lagu yang saya ceritakan di awal tulisan.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/10/10/081031879/angka-dan-kehidupan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke