Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sejarah Buruh Indonesia: Potret Gerakan Pekerja Masa Kolonial

Namun, dalam perkembangan makna secara luas, tidak semua orang yang bekerja dan menerima upah dapat dikategorikan sebagai buruh.

Buruh memiliki klasifikasi khusus dan secara umum diartikan sebagai orang yang bekerja pada ruang sosial dengan memiliki ikatan terhadap majikan.

Misalnya, orang yang disebut sebagai buruh adalah para pekerja pabrik, baik di sektor produksi makanan maupun manufaktur, jasa, dan lain sebagainya.

Tidak dapat dipastikan kapan istilah “buruh” kali pertama muncul dalam literasi Indonesia.

Namun, kelompok-kelompok yang didefinisikan sebagai buruh telah ada sejak masa kolonial.

Latar Belakang Munculnya Kelompok Buruh Masa Kolonial

Pada masa kolonial, istilah buruh yang kita kenal sekarang ini lebih banyak disebut sebagai kelompok atau sarekat pekerja.

Munculnya kesadaran membentuk suatu kelompok buruh yang terstruktur tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor.

Terjadinya Perang Jawa pada abad ke-19 Masehi, di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro, bisa dianggap sebagai awal mula.

Kekalahan pasukan Pangeran Diponegoro dalam perang besar tersebut mengakibatkan hilangnya sepertiga masyarakat Jawa dan hanya menyisakan kaum petani.

Peristiwa ini kemudian disusul kebijakan yang melibatkan para pekerja, khususnya pribumi, yaitu tanam paksa (cultuur stelsel) pada1830.

Pada 1870, cultuur stelsel dihapuskan dan pemerintah kolonial beralih menerapkan kebijakan Politik Ekonomi Liberal atau Politik Pintu Terbuka.

Dampak dari penerapan kebijakan baru ini adalah salah satunya dibebaskannya eksploitasi ekonomi kepada perusahaan swasta asing.

Berkat kebijakan ekonomi terbuka tersebut, banyak perusahaan swasta asing mendirikan pabrik-pabrik dan industri perkebunan yang melibatkan pribumi sebagai tenaga kerja.

Pendirian industri pangan dan perkebunan memang berpusat di Jawa, tetapi bukan berarti di daerah lain tidak ada. Misalnya, di Sumatera yang didominasi industri perkebunan milik asing.

Pada fase ini, para pekerja pribumi berangsur menyadari kesamaan status sosialnya sehingga mereka mendirikan kelompok-kelompok kecil yang umum dikenal serikat pekerja.

Hampir di setiap pabrik atau industri asing, berdiri kelompok kerja yang beranggotakan para pekerja pribumi khususnya.

Sarekat Sekerja pada masa Pergerakan Nasional

Pada 1912, Organisasi Sarekat Dagang Islam yang kemudian berganti menjadi Sarekat Islam, mulai berkembang pesat.

Gerakan-gerakan para petani dan pekerja pabrik mulai mendapatkan arah gerak secara terstruktur dalam panji-panji Sarekat Islam lokal.

Titik perkembangan pesat organisasi buruh adalah ketika datangnya seorang Marxis Belanda bernama Henk Sneevliet ke Surabaya pada 1914.

Henk Sneevliet kala itu mendirikan sebuah organisasi bernama Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) yang mewadahi para pekerja tanpa membedakan ras dan etnis.

Organisasi ini kemudian dipindahkan ke Semarang setelah Henk berkenalan dengan Semaun yang kala itu menjabat sebagai ketua Sarekat Pekerja Kereta Api dan Sarekat Islam Semarang.

Berkat dukungan Sarekat Islam Semarang, ISDV berkembang pesat yang ditandai dengan banyaknya organisasi serikat pekerja yang lahir dan terafiliasi dengan Sarekat Islam.

Pada 1919, sekitar 44 organisasi serikat pekerja yang berhaluan modern telah bergabung dalam Sentral Pergerakan Kaum Buruh Bumiputera di bawah naungan Sarekat Islam.

Adanya kelompok-kelompok serikat pekerja atau buruh ini melahirkan cara pandang baru bagi para pekerja dalam melayangkan gerakan protes terhadap majikannya.

Sebelumnya, serikat pekerja melakukan protes dengan tindak kekerasan.

Setelah adanya serikat pekerja yang terstruktur, perundingan pemogokan menjadi cara baru menyelesaikan permasalahan.

Misalnya, gerakan kelompok buruh pabrik gula dalam Personeel Fabriek Bond (PFB) yang merupakan kelompok yang besar kala itu karena terdiri 190 serikat pekerja.

Pada 1919-1920, gula menempati posisi tertinggi dalam pasar global yang membuat pemilik pabrik meraih keuntungan dua kali lipat.

Kenaikan keuntungan tersebut ternyata tidak mengubah nasib para buruh. Mereka masih kerap merasakan kelaparan akibat tidak seimbangnya upah.

Tindakan pemilik pabrik kemudian ditentang oleh para buruh pabrik gula dengan cara mogok kerja serentak.

Para buruh meminta adanya dialog atau perundingan dengan pemilik pabrik dalam menyelesaikan permasalahan mereka akibat ketidakadilan perusahaan.

Namun, perkembangan organisasi buruh ini juga diiringi dengan perkembangan ideologi organisasi yang berhaluan Marxis.

Titik puncaknya adalah upaya-upaya kaum buruh yang terdoktrin Marxis untuk mendirikan negara sendiri.

Hal ini tentu melahirkan pergolakan dalam organisasi-organisasi politik yang ada pada masa Pergerakan Nasional, semisal dengan kaum nasionalis.

Pada fase ini, kelompok buruh bukan lagi wadah pekerja, melainkan juga menaungi ideologi dan gerakan politik.

Referensi:

  • Sulistyo, B. (2018). Pasang Surut Gerakan Buruh Indonesia. Lensa Budaya: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Budaya, 13(2).
  • Ningsih, Y. E. (2018). Perubahan Posisi Indonesia dalam Perburuhan: Studi Perbandingan Buruh Migran Masa Kolonial dan Masa Reformasi. Sejarah dan Budaya: Jurnal Sejarah, Budaya, dan Pengajarannya, 12(2), 194-199.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/05/03/150000279/sejarah-buruh-indonesia--potret-gerakan-pekerja-masa-kolonial

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke