Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kartini: Memperjuangkan Emansipasi dengan Literasi (Bagian II - Habis)

“Pendapat orang tidak seluruhnya betul. Bukan hanya buku-buku yang membuat anak gadis itu durhaka, yang membuat ia benci setengah mati adalah kondisi yang sejak dulu kala ada dan merupakan azab bagi semua kaum perempuan.”

Baca artikel sebelumnya: Kartini: Memperjuangkan Emansipasi dengan Literasi (Bagian I)

Kartini melihat di sekelilingnya hanyalah belenggu yang membuatnya menderita, maka untuk melepaskan diri salah satu caranya adalah berdialog dengan buku dan berkorespondensi dengan para sahabat penanya terutama Abendanon.

Malah ada yang mengatakan bahwa Kartini adalah anak ideologinya Abendanon.

“Nanti di kemudian hari, apabila kami telah memperjuangkan diri lepas sama sekali dari cengkraman adat kebiasaan yang berabad-abad lamanya. Adat kami patuhi hanyalah karena cinta kami kepada orang tua kami tersayang. Kami tidak berhak bodoh, tidak berhak tak berarti.” (hal. 54)

Cita-cita Kartini yang lain adalah menjadi guru. Ia ingin menjadi guru agar dapat mengajarkan kepada para calon ibu di samping ilmu pengetahuan juga pengertian kasih dan keadilan seperti yang diketahuinya dari orang-orang Eropa.

Menurut dia, manusia pertama-tama menerima pendidikan dari seorang perempuan. Dari tangan seorang perempuan anak-anak mulai belajar merasa, berpikir, dan berbicara. Didikan pertama kali tersebut akan berpengaruh kepada kehidupannya di masa depan.

Kartini pernah berharap pada kemurahan hati gubernur untuk membuatkan sekolah, dan dia bercita-cita menjadi guru atau kepala sekolahnya.

Akan tetapi, pada waktu itu sebagian besar bupati yang dimintai pertimbangan menyatakan tidak setuju, karena berlawanan dengan adat apabila anak-anak perempuan dididik di luar rumah.

“Sayang! Kekhawatiran kami ternyata beralasan. Kami berharap banyak dari rencana pemerintah yang bagus itu. Tetapi itu akan sia-sia saja karena kebanyakan kepala bumiputera yang dimintai pendapat mengenai hal ini tidak setuju. Mereka beranggapan bahwa menerima pendidikan dari luar bagi anak perempuan sangat bertentangan dengan adat. Melayanglah angan-angan yang hampa! Terbanglah impian masa depan yang indah!” (hal. 140)

Obsesi Kartini adalah berjuang untuk mendorong kaum wanita supaya belajar dengan cara membaca agar tidak ditindas kaum pria.

Dalam adat Jawa pada waktu itu, perempuan dianggap bukan apa-apa, perempuan diciptakan hanya untuk kesenangan laki-laki.

Mereka dapat berbuat sekehendak hati terhadap perempuan. Melihat hal tersebut mata Kartini menyala, dan dengan geram dikepalkan tangannya dan dikatupkan bibirnya erat-erat menahan amarah yang memuncak.

“Tidak! Kami manusia, sama seperti laki-laki. Berilah kami izin untuk membuktikannya dan saya akan menunjukannya bahwa saya manusia.”

“Marilah wahai perempuan, para gadis. Bangkitlah, marilah kita berjabatan tangan dan bersama-sama mengubah keadaan yang membuat menderita ini. Bebas, berdiri sendiri, tidak tergantung kepada orang lain.”

Keinginan Kartini yang lain adalah pergi ke Eropa atau Belanda. Surat-suratnya penuh dengan cita-cita inging sekolah ke Belanda yang tidak pernah kesampaian sampai maut menjemputnya.

“Eropa! Eropa! Akan tetapkah kamu selalu tak terjangkau oleh kami? Kami yang dengan segala kesungguhan hati merindukan kamu. Kami ingin sekali pergi ke Belanda, karena negeri Belanda akan membebaskan kami. Eropa akan membebaskan baju besi kami, akan membuat kami kebal terhadap serangan orang-orang yang berjiwa kerdil dan kebal terhadap ejekan. Dengan segenap hati dan jiwa saya ingin pergi ke negeri Belanda. Menurutku, hanya udara Eropalah yang dapat membersihkan saya dari pengaruh pendidikan Bumiputera. Negerimu, Stella, yang akan membuat saya membuang purbasangka jauh-jauh yang sekarang sangat menghambat itu. Tertawakanlah ketololan saya itu sekehendak hatimu. Tetapi negerimu akan membuat saya bebas, sungguh-sugguh bebas!”

Pandangan Kartini tentang pendidikan tidak terlepas dari pentingnya buku bagi peserta didik.

“Bagaimana jalannya memasukkan landasan budi pekerti itu pada orang dewasa dan setengah dewasa? Menurut pertimbangan saya adalah dengan bacaan. Patutlah diterbitkan majalah yang berisi bacaan ringan (supaya banyak dibaca oang) tetapi selalu dengan maksud hendak mendidik.”

Menurut Kartini, hal yang penting dalam pendidikan anak-anak adalah bacaan. Bacaan akan turut mendidik dengan sebaik-baiknya. Hanya beberapa wiracarita dan bacaan orang Jawa yang mengandung pendidikan akhlak.

Itu pun hanya dapat dijangkau oleh sejumlah orang yang sangat sedikit, karena hampir semuanya ditulis secara kiasan dan dalam bahasa yang tidak dapat dipahami oleh orang biasa.

Masih banyak orang Jawa yang biasanya hanya membaca yang tersurat saja, sehingga bacaan itu kehilangan nilainya, terutama nilai-nilai praktisnya.

Kartini berpendapat bahwa orang Jawa hendaknya diberi bacaan yang ditulis dalam bahasa populer dan dapat dipahami setiap orang.

Bukan khotbah, juga bukan ucapan sehari-hari yang sering kali vulgar dan kurang berisi, melainkan cerita yang disajikan dengan sederhana, segar, dan memikat hati.

Karangan mengenai kehidupan nyata dari zaman sekarang, zaman lampau, dan juga dari dunia khayalan atau imajinasi. Harus berisi dasar-dasar tata susila dalam pendidikan.

“Untuk maksud itu harus ditulis buku-buku baik untuk orang dewasa maupun anak-anak. Kemudian harus diterbitkan majalah-majalah untuk orang dewasa dan anak-anak yang terbit setiap mingu atau setiap bulan yang memuat tulisan berbagai hal untuk memperluas wawasan, mencerdaskan pikiran, dan memuliakan rasa hati” (hal. 548).

Menurut Kartini, di antara buku-buku pelajaran sekolah sebaiknya dimasukkan pelajaran yang jelas mengenai tanah air, bangsa, adat kebiasaan, dan keadaan di Hindia. Bukan karangan-karangan kering yang semata-mata ilmiah, melainkan bacaan yang mengasyikan sebagaimana yang sangat digemari anak-anak (hal. 550).

Buah pikiran Kartini meliputi banyak aspek yang barkaitan dengan pendidikan, akan tetapi dalam tulisan ini hanya memuat aspek literasi saja.

Kita dapat membayangkan sosok perempuan yang masih muda memiliki pengetahuan yang banyak dan mendalam kemudian dibenturkan dengan realitas yang keras di sekilingnya. Seolah-olah Kartini frustrasi, kecewa, dan akhirnya menderita.

Menderita bukan untuk kepentingan sendiri, tetapi menderita untuk kaum wanita, untuk bangsa, dan untuk kemanusiaan secara universal. Dan itulah mengapa dia menjadi seorang pahlawan.

Tulisan ini saya tutup dengan perkataan Kartini sebagaimana diutarakan kepada Rukmini menjelang kematiannya,“Saya akan menunggu dengan sabar saja, sampai sukma saya dapat mengembangkan sayapnya lagi, membumbung tinggi ke angkasa raya.”

Semoga sukma Kartini dapat merasuk pada kaum wanita Indonesia di setiap zaman untuk melahirkan generasi yang lebih baik di kemudian hari, tentu saja dengan berbekal senjata utamanya, yaitu literasi.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/04/19/055710079/kartini-memperjuangkan-emansipasi-dengan-literasi-bagian-ii-habis

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke