Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sejarah Beduk, Dulu sebagai Penanda Perang

Pada era sekarang, sebuah beduk biasanya dibunyikan untuk pemberitahuan akan datangnya waktu salat atau ibadah.

Beduk terbuat dari sepotong batang kayu besar atau pohon enau dengan panjang sekitar satu meter atau lebih.

Bagian tengah beduk kemudian dilubangi sehingga berbentuk tabung besar.

Kemudian, ujung batang berukuran lebih besar ditutup dengan kulit binatang yang berfungsi sebagai membran atau selaput gendang.

Bila ditabuh, beduk akan menghasilkan suara berat, bernada khas, rendah, tetapi bisa terdengar hingga jarak yang cukup jauh.

Bagaimana sejarah beduk?

Asal-usul beduk

Beduk sebenarnya berasal dari India dan China.

Menurut legenda Cheng Ho dari China, ketika Laksamana Cheng Ho datang ke Semarang, Jawa Tengah, mereka mendapat sambutan baik dari Raja Jawa saat itu.

Lalu, saat Cheng Ho hendak pergi dan memberikan hadiah, raja dari Semarang mengatakan bahwa mereka ingin mendengarkan suara beduk dari masjid.

Hal ini sama seperti fungsi beduk di China, Korea, dan Jepang, di mana alat tersebut diletakkan di kuil-kuil sebagai alat komunikasi ritual keagamaan.

Salah seorang China-Muslim Cheng Ho dan bala tentaranya pernah datang ke Indonesia sebagai utusan dari maharaja Ming.

Konon, ialah orang yang mempertunjukkan beduk di Jawa ketika memberi tanda baris-berbaris kepada tentara yang mengiringinya.

Pada masa Hindu, jumlah beduk di Indonesia masih sangat terbatas dan penyebarannya juga belum merata.

Menurut catatan sejarah, beduk berfungsi sebagai media untuk mengumpulkan penduduk dari berbagai desa dalam rangka persiapan perang.

Pada masa itu, istilah beduk masih belum populer. Istilah lain dari beduk yang digunakan pada era itu adalah "teg-teg", kelompok membraphone yang menyerupai alat itu.

Fungsinya sebagai pemberi tanda atau pertanda bunyi.

Lebih lanjut, pada masa penjajahan Belanda, sebuah catatan pelayaran Belanda yang pertama ke Nusantara, yaitu Cornelis de Houtman mencatat keberadaan beduk, bonang, gender, dan gong.

Di dalam catatan tersebut, Houtman menuliskan bahwa beduk populer di daerah Banten, Jawa Barat.

Sebab, di setiap perempatan jalan terdapat sebuah genderang yang digantung dan dibunyikan dengan tongkat pemukul yang tergantung di sebelahnya.

Bunyi dari genderang tersebut berfungsi sebagai tanda bahaya atau tanda waktu yang dibunyikan pada pagi hari, tengah hari, atau tengah malam.

Keberadaan beduk kemudian dikaitkan dengan Islamisasi yang mulai dilakukan oleh Wali Songo sekitar abad ke-15 atau abad ke-16.

Beduk mulai diletakkan di masjid-masjid yang berfungsi untuk mengajak umat Islam melaksanakan salat lima waktu.

Di sejumlah masjid, beduk diletakkan di beranda atau lantai atas. Namun, ada pula yang diberi rumah kecil, terpisah dari masjid.

Pada 1659, memukul beduk sudah menjadi sebuah tradisi.

Ketika seorang dokter kapal Belanda, Wouter Schouten datang ke Ternate, ia mencatat penggunaan beduk saat itu untuk memanggil orang-orang datang ke masjid.

Dua tahun setelahnya, saat berada di Banten, ia melihat sebuah beduk dengan tinggi dan lebar delapan kaki di samping menara masjid.

Suaranya pun terdengar hingga bermil-mil sampai ke pegunungan.

Di samping untuk memberi tahu warga waktu salat sudah tiba, pukulan beduk juga untuk menandai awal dan akhir puasa.

Referensi:

  • Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid III. (1988). Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/04/09/110000079/sejarah-beduk-dulu-sebagai-penanda-perang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke