Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tradisi Unik Masyarakat Kepulauan Riau Menyambut Lailatul Qadar

Lailatul Qadar dianggap sebagai malam yang sakral dalam rentetan hari-hari di bulan Ramadhan.

Lailatul Qadar diyakini sebagai malam seribu bulan, sehingga amal ibadah yang dilakukan pada malam itu setara dengan amal ibadah selama seribu bulan.

Ada berbagai pendapat dari para ulama tentang ketentuan kapan tepatnya malam Lailatul Qadar berlangsung. Oleh karena itu, malam Lailatul Qadar juga terkadang dianggap sebagai malam misterius.

Sebagian ulama berpendapat bahwa Lailatul Qadar berlangsung di antara hari dalam dua pekan terakhir Ramadhan.

Sementara itu, sebagian ulama lainnya meyakini Lailatul Qadar tepat pada hari ke-27 Ramadhan.

Terlepas dari perbedaan ketentuan berlangsungnya Lailatul Qadar, setiap kelompok masyarakat memiliki cara sendiri dalam menyambut malam istimewa itu.

Di Ternate, masyarakat Muslim memiliki tradisi Ela-ela yang juga ditujukan untuk menyambut Lailatul Qadar yang mereka yakini jatuh pada malam ke-27 Ramadhan.

Demikian pula di Kepulauan Riau, tepatnya di Kabupaten Lingga, yang memiliki tradisi Tujuh Likur untuk menyambut Lailatul Qadar.

Pelaksanaan Tradisi Tujuh Likur

Tradisi Tujuh Likur merupakan kebiasaan masyarakat Kabupaten Lingga yang telah berlangsung sejak lama dan tetap dilestarikan hingga kini.

Sesuai namanya, Tujuh Likur yang berarti 27, masyarakat Lingga meyakini Lailatul Qadar berlangsung pada malam ke-27 Ramadhan.

Meskipun mereka meyakini malam itu ada di hari ke-27, acara menyambut Lailatul Qadar telah dilaksanakan sejak 10 terakhir puasa Ramadhan.

Tradisi Tujuh Likur dilaksanakan di dua lokasi, yaitu dilakukan di masjid dan di rumah masing-masing warga.

Acara di masjid dilangsungkan sekali saja, yaitu pada malam puncaknya atau pada malam ke-27 Ramadhan.

Rangkaian acaranya meliputi tarawih, kemudian dilanjutkan dengan dzikir, setelah itu membaca ratib, dan ditutup dengan makan juada bersama.

Sementara itu, dalam tradisi Tujuh Likur yang berlangsung di rumah telah dimulai sejak malam ke-21 Ramadhan.

Telah menjadi kebiasaan bagi masyarakat ketika malam ke-21 tiba, mereka tidak akan menutup jendela rumahnya selepas maghrib.

Setiap warga Muslim berlomba-lomba membuat rumahnya seterang mungkin dengan cahaya-cahaya lampu yang benderang hingga keluar jendela.

Selain itu, warga akan memasang pelita di pekarangan rumahnya dengan jumlah yang disesuaikan dengan urutan malam.

Pada malam ke-21, setiap rumah akan memasang sebuah pelita di depan rumahnya. Pelita ini akan bertambah sesuai dengan urutan harinya.

Ketika malam ke-27 tiba, tidak hanya setiap rumah yang akan dipasang pelita, tetapi juga sudut dan bahu jalan turut diterangi sehingga suasana kampung menjadi terang benderang.

Kaum muda juga tidak luput andil dalam memeriahkan malam Lailatul Qadar.

Mereka akan membuat semacam gerbang atau gapura pada hari menjelang malam ke-27 Ramadhan.

Gapura ini dibuat dengan bahan sederhana, seperti bambu, kayu, papan, tetapi dikreasikan menjadi bentuk seperti kubah masjid, bintang-bintang, dan ragam tulisan ucapan.

Biasanya, setelah membuat gerbang ini, mereka akan mengadakan buka dan doa Bersama dengan masyarakat sekitar.

Tradisi ini merupakan wujud kearifan lokal masyarakat dalam mengekspresikan semangat dalam menyambut malam Lailatul Qadar.

Referensi:

  • Kemdikbud.go.id/

https://www.kompas.com/stori/read/2023/04/07/140000879/tradisi-unik-masyarakat-kepulauan-riau-menyambut-lailatul-qadar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke