Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Toleransi Beragama di Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan bercorak Hindu-Buddha ini sempat beberapa kali mengalami perpindahan pusat pemerintahan, dari Jawa Tengah hingga akhirnya ke Jawa Timur.

Ketika di Jawa Tengah, Mataram Kuno diperintah oleh dua dinasti berbeda, yaitu Dinasti Sanjaya dan Dinasti Sayilendra.

Sedangkan pada periode Jawa Timur, yang lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Medang, diperintah oleh Dinasti Isyana.

Meski bercorak Hindu-Buddha, masyarakat Mataram Kuno tetap memegang teguh toleransi antarumat beragama.

Berikut ini bukti adanya toleransi antaraumat beragama di Kerajaan Mataram Kuno.

Perkawinan beda agama

Dinasti-dinasti yang berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno mempunyai perbedaan yang sangat mencolok, di mana Dinasti Sanjaya bercorak Hindu, sedangkan Dinasti Syailendra bercorak Buddha.

Kekuasaan Mataram Kuno pertama kali dipegang oleh Raja Sanjaya, dibuktikan dengan Prasasti Canggal.

Raja Sanjaya dikenal sebagai raja yang bijaksana, cakap, adil, dan taat dalam beragama.

Di bawah pemerintahannya, kerajaan ini mejadi pusat pembelajaran agama Hindu, dibuktikan dengan banyaknya pendeta yang berkunjung dan menetap di Mataram.

Pada pertengahan abad ke-8, Raja Sanjaya wafat dan digantikan oleh putranya, Rakai Panangkaran.

Setelah Rakai Panangkaran wafat, Kerajaan Mataram Kuno terpecah menjadi dua. Dinasti Sanjaya memerintah Kerajaan Mataram Kuno bercorak Hindu di Jawa Tengah bagian utara.

Sementara Dinasti Syailendra memerintah Kerajaan Mataram Kuno bercorak Buddha di Jawa Tengah bagian selatan.

Kerajaan Mataram Kuno akhirnya bersatu kembali setelah perkawinan Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya (Hindu) dan Pramodhawardani dari Wangsa Syailendra (Buddha).

Perbedaan agama di antara Rakai Pikatan dan Pramodawardhani pun terbukti tidak menimbulkan masalah.

Selama memerintah, keduanya sama-sama menjunjung toleransi beragama.

Pembangunan candi Hindu-Buddha

Masyarakat Kerajaan Mataram kuno terdiri atas agama Hindu dan agama Buddha. Namun, mereka tetap hidup rukun dan saling bertoleransi.

Hal itu dibuktikan dalam pembangunan Candi Plaosan di Kabupaten Klaten, yang merupakan wujud akulturasi budaya Hindu dan Buddha.

Selain itu, Rakai Pikatan dan Pramodawardhani juga mendukung pembangunan candi bercorak Hindu maupun Buddha.

Pada 842, mereka meresmikan Candi Borobudur (Buddha) yang dibangun sejak era pemerintahan Samaratungga.

Karena Rakai Pikatan beragama Hindu, ia memerintahkan untuk membangun candi Siwa, yaitu percandian Roro Jonggrang di Prambanan.

Di saat yang sama, Raja menunjukkan bahwa dirinya tidak mengabaikan candi kerajaan yang dibangun oleh Rakai Panangkaran, yaitu Candi Plaosan Lor, dan tetap menjaga perasaan permaisurinya yang beragama Buddha.

Buktinya, Rakai Pikatan menambahkan sekurang-kurangnya dua candi perwara berupa bangunan stupa pada percandian itu.

Hal ini dapat dilihat dari tulisan pada dua bangunan stupa di kanan dan kiri jalan masuk ke candi induk sebelah utara.

Dengan demikian, pernikahan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani memang memberi dampak positif bagi toleransi antarumat beragama Hindu dan Buddha di Mataram Kuno.

Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang berupa candi Hindu dan Buddha pun banyak yang didirikan secara berdampingan.

Referensi:

  • Alif, Abdul Kholiq. (2010). Mata Air Peradaban Dua Millenium Wonosobo. Yogyakarta: LKiS.

https://www.kompas.com/stori/read/2022/01/14/090000179/toleransi-beragama-di-kerajaan-mataram-kuno

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke