Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Poenale Sanctie: Latar Belakang, Pelaksanaan, dan Pencabutan

Kebijakan ini pertama kali diterapkan bagi perusahaan pertanian dan industri di Sumatera Timur pada 1880.

Poenale Sanctie merupakan usaha pemerintah kolonial Belanda untuk melindungi kaum modal asing agar para buruh tidak melarikan diri.

Dengan menggunakan Poenale Sanctie, secara sosial buruh kontrak dapat ditundukkan dan secara politik tidak berbahaya bagi para pengusaha perkebunan.

Latar belakang dicetuskannya Poenale Sanctie

Penerapan politik liberal di Indonesia menggantikan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) membuka peluang bagi pihak swasta untuk turut membangun perekonomian.

Hal ini kemudian berakibat pada munculnya perkebunan-perkebunan swasta asing di Indonesia, salah satunya perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Timur.

Untuk keperluan itulah, pemerintah kolonial mendatangkan tenaga kerja yang kemudian disebut kuli di bawah sistem kerja kontrak.

Dengan dihapusnya perbudakan, sistem kerja kontrak dianggap sebagai jalan paling logis bagi perkebunan di Sumatera Timur untuk dapat menahan pekerjanya selama beberapa tahun.

Pada 1880, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan pertama mengenai persyaratan hubungan kerja kuli kontrak di Sumatera Timur yang disebut Koelie Ordonnantie atau Undang-Undang Kuli.

Dalam kontrak Koelie Ordonnantie termuat Poenale Sanctie, yaitu sanksi hukuman yang diberikan apabila kuli lalai atau melanggar kontrak.

Pelaksanaan Poenale Sanctie

Poenale Sanctie memuat ketentuan bahwa pekerja-pekerja yang melarikan diri dari perkebunan di Sumatera Timur dapat ditangkap kemudian dibawa kembali ke majikan dengan kekerasan apabila mengadakan perlawanan.

Hal ini memberi jaminan pada majikan terhadap kemungkinan pekerja-pekerja melarikan diri sebelum kontrak mereka berakhir.

Di lain pihak, juga diadakan peraturan yang melindungi para pekerja terhadap tindakan sewenang-wenang majikan.

Akan tetapi, dalam kenyataannya hukuman terhadap majikan ini hanya sebatas ancaman di atas kertas karena tidak pernah dilaksanakan.

Pada umumnya, para kuli tidak mengetahui isi perjanjian dalam kontrak karena mereka buta huruf dan hanya membubuhkan cap jari sebagai tanda persetujuan.

Jika pekerja kontrak melanggar peraturan yang telah disepakati, mereka akan dikenai hukuman yang berat.

Hukuman yang dimaksud dapat berupa denda, hukuman fisik seperti cambuk, ataupun hukuman kurungan oleh majikannya.

Artinya, berat dan ringannya hukuman tergantung pada kemauan majikan tanpa melalui proses peradilan.

Penderitaan para tenaga kerja (kuli) pun semakin berat, karena setelah dijatuhi hukuman mereka akan dikembalikan ke perkebunan untuk melanjutkan tugasnya.

Mereka harus bekerja keras tetapi tidak setimpal upahnya, dan kebutuhan makan serta kesehatan mereka juga tidak terjamin.

Pencabutan Poenale Sanctie

Kekejaman Poenale Sanctie menuai kecaman dari tokoh-tokoh Indonesia dan beberapa orang Belanda.

Meskipun Koelie Ordonnantie akhirnya dihapus pada 1905, Poenale Sanctie tetap berlanjut karena kebiasaan menghukum para kuli sudah terlanjur mengakar.

Pada April 1925, Perkumpulan Budi Utomo menyelenggarakan kongres di Surakarta.

Salah satu masalah yang dibahas dalam kongres tersebut adalah rencana untuk menuntut agar Poenale Sanctie dihapuskan.

Poenale Sanctie akhirnya dicabut pada 1930 setelah masalah ini diperjuangkan oleh Thamrin dalam sidang Volksraad.

 

Referensi:

https://www.kompas.com/stori/read/2021/07/06/130000979/poenale-sanctie-latar-belakang-pelaksanaan-dan-pencabutan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke