Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Geger Cilegon 1888: Latar Belakang dan Jalannya Perang

Perlawanan paling yang paling besar adalah pemberontakan petani Banten pada 9 Juli 1888, atau disebut dengan Geger Cilegon 1888.

Lantas, apa penyebab Geger Cilegon dan dimana peristiwa ini terjadi?

Latar belakang Geger Cilegon 1888

Antara 1882 dan 1884, rakyat Serang dan Anyer telah ditimpa dua malapetaka, yaitu kelaparan dan penyakit sampar (pes) binatang ternak.

Hal itu disebabkan oleh musim kemarau berkepanjangan yang menyebabkan tanaman tidak tumbuh dan munculnya wabah pes.

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah kolonial menginstruksikan untuk membunuh semua ternak, termasuk binatang yang tidak terkena penyakit.

Akibatnya, muncul kebencian rakyat terhadap pemerintah Belanda yang dianggap telah melakukan kekejian dan kesewenang-wenangan.

Sebab, bagi petani binatang ternak juga dianggap sebagai teman yang membantu pekerjaan mereka di sawah.

Karena jumlahnya sangat banyak, tidak semua ternak dapat dikubur, sehingga bangkainya ditemukan dimana-mana dan mengundang penyakit baru bagi rakyat.

Sebanyak 120.000 orang lebih tercatat telah terkena penyakit dan 40.000 di antaranya meninggal dunia.

Rakyat pun semakin sengsara saat Gunung Krakatau meletus pada 1883 dan menimbulkan gelombang laut setinggi 30 meter.

Gelombang yang menghancurkan Anyer, Merak, dan Caringin tersebut merenggut kurang lebih 22.000 jiwa.

Musibah yang datang bertubi-tubi masih diperburuk oleh pemerintah kolonial yang melaksanakan sistem perpajakan yang baru.

Berbagai pajak dikenakan kepada penduduk, yaitu pajak tanah pertanian, pajak perdagangan, pajak perahu, pajak pasar, dan pajak jiwa, yang besarnya di luar kemampuan penduduk.

Di tambah lagi, kecurangan pegawai pemungut pajak membuat rakyat semakin resah dan membeci penjajah.

Akibat penderitaan tersebut, rakyat yang percaya takhayul mulai memberi sesajen di pohon kepuh besar yang dikeramatkan supaya permohonan mereka untuk memusnahkan segala macam bencana dapat terkabul.

Seorang ulama bernama Haji Wasid yang tidak ingin membiarkan kemusyrikan kemudian menebang pohon tersebut.

Akibatnya, Haji Wasid dibawa ke pengadilan kolonial pada 18 November 1887 dan didenda karena melanggar hak orang lain.

Murid dan pengikut Haji Wasid semakin tersinggung saat mengetahui menara musala di Jombang Tengah dirubuhkan atas perintah Asisten Residen Goebels.

Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan mengganggu ketenagan masyarakat.

Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi, politik, dan budaya inilah yang menyulut api perlawanan Geger Cilegon 1888.

Persiapan Geger Cilegon 1888

Sejak bulan Februari hingga April 1888, para ulama dari Serang, Banten, dan Tangerang mulai mengadakan pertemuan.

Mereka adalah Haji Marjuki, Haji Asnagari, Haji Iskak, Haji Wasid, dan Haji Ismail.

Pertemuan tersebut membahas mengenai ketersediaan alat persenjataan, pembagian tugas, penggerak pengikut, serta pelatihan.

Pada 7 Juli 1888, diadakan pertemuan para kiai untuk persiapan terakhir pemberontakan di rumah Haji Akhia di Jombang Wetan.

Para kiai yang hadir adalah Haji Sa'is, Haji Sapiuddin, Haji Madani, Haji Halim, Haji Mahmud, Haji Iskak, Haji Muhammad Arsad, dan Haji Tubagus Kusen.

Agar Belanda tidak curiga, pertemuan tersebut dilaksanakan pada suatu kenduri besar.

Kemudian setelah lewat tengah malam, para kiai tersebut menghadiri pertemuan kedua di rumah Haji Iskak dan bertemu dengan Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail.

Mereka memastikan bahwa pemberontakan akan dimulai pada 9 Juli 1888.

Keesokan harinya, Haji Wasid dan Haji Ismail menemui murid-muridnya, sementara utusan-utusan yang lain dikirim ke berbagai daerah untuk mengerahkan pejuang-pejuang dari Anyer.

Jalannya pemberontakan Geger Cilegon 1888

Pada 8 Juli 1888, diadakan arak-arakan sambil meneriakkan takbir dan kasidahan dari Jombang Wetan ke rumah Haji Tubagus Kusen, penghulu Cilegon.

Mereka mengenakan pakaian putih dan membawa pedang serta tombak.

Pada malam harinya, mereka dipimpin oleh Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail menuju Saneja, yang dijadikan sebagai pusat penyerangan.

Senin malam, 9 Juli 1888, serangan umum terhadap para pejabat pemerintah kolonial di Cilegon dimulai.

Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman memimpin serangan dari arah selatan, sementara Haji Wasid, Haji Usman, Haji Abdul Gani, dan Haji Nuriman menyerang dari utara.

Pasukan dibagi ke dalam beberapa kelompok dengan tugas masing-masing.

Ada yang menyerbu penjara untuk membebaskan para tahanan, ada yang menyerbu kepatihan, dan ada yang menyerang rumah asisten residen.

Dalam keadaan yang sangat kacau tersebut, beberapa orang yang tidak disenangi rakyat berhasil ditumpas.

Mereka adalah Henri Francois Dumas (juru tulis asisten residen), Raden Purwadiningrat (ajun kolektor), Johan Hendrik Hubert Gubbels (asisten residen Anyer), Mas Kramadireja (sipir penjaga Cilegon), dan Ulri Bachet (kepala penjualan garam).

Kekacauan ini tidak dapat diatasi oleh Belanda dan Cilegon dapat dikuasai oleh para pemberontak.

Namun, seorang pembantu rumah tangga Gubbels berhasil melarikan diri ke Serang dan melaporkan kejadian itu.

Menanggapi hal itu, Letnan I Bartlemy berangkat ke Cilegon bersama 40 serdadu untuk memadamkan pemberontakan.

Pada akhirnya, Haji Wasid sebagai pemimpin pemberontakan dihukum gantung, sedangkan 94 pemimpin perlawanan lainnya diasingkan.

Referensi:

  • Makfi, Samsudar. (2019). Perlawanan terhadap Penjajah di Sumatera dan Jawa. Singkawang: Maraga Borneo Tarigas.

https://www.kompas.com/stori/read/2021/06/29/110000579/geger-cilegon-1888-latar-belakang-dan-jalannya-perang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke