Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Raja-Raja Kerajaan Bone

Pada awalnya, kerajaan yang didirikan oleh Manurunge ri Matajang pada 1330 masehi ini belum bercorak Islam.

Kerajaan Bone baru diislamkan oleh Kerajaan Gowa-Tallo pada tahun 1611 masehi dan raja pertamanya yang memeluk Islam adalah La Tenriruwa, dengan gelar Sultan Adam.

Kesultanan Bone kemudian mencapai puncak kejayaannya pada pertengahan abad ke-17, ketika dipimpin oleh Arung Palakka.

Arung Palakka berhasil memakmurkan rakyatnya berkat potensi kerajaannya yang beragam, seperti di bidang pertanian, perkebunan, dan kelautan.

Selain itu, Arung Palakka juga mempersatukan kerajaan-kerajaan Bugis hingga mendapat julukan "De Koning der Boeginesen" dari VOC.

Meski sempat menjadi penguasa utama di Sulawesi Selatan, Bone akhirnya berada di bawah kendali Belanda pada 1905 setelah peristiwa Rumpa'na Bone.

Raja Kerajaan Bone yang terkenal

Arung Palakka (1672-1696 M)

Kerajaan Bone mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Arung Palakka, sultan ke-15 yang bertakhta antara 1672-1696 M.

Di bawah kekuasaannya, Kerajaan Bone mampu memakmurkan rakyatnya dengan potensi yang beragam seperti dalam bidang pertanian, perkebunan, dan kelautan.

Kekuatan militernya juga semakin kuat, setelah belajar dari lemahnya pertahanan mereka saat kalah menghadapi Kerajaan Gowa.

Setelah jatuhnya Kesultanan Gowa, Kerajaan Bone menjadi yang terkuat di seantero Sulawesi.

Selain itu, Arung Palakka juga mempersatukan kerajaan-kerajaan Bugis hingga mendapat julukan "De Koning der Boeginesen" dari VOC.

Kendati demikian, banyak pangeran dan pengikutnya yang tidak setuju karena persekutuan Arung Palakka dengan VOC.

Sultanah Salima Rajituddin, Arung Datu (1823-1835 M)

Kerajaan Bone Kesultanan Bone mulai mengalami kemunduran setelah Sultan Ismail Muhtajuddin, raja ke-24 wafat pada 1823 M.

Setelah itu, kekuasaan dilanjutkan oleh Arung Datu (1823-1835 M).

Arung Datu berusaha merevisi Perjanjian Bongaya yang disepakati Kerajaan Gowa dan VOC, hingga akhirnya memicu kemarahan Belanda.

Belanda kemudian meluncurkan serangan hingga berhasil menduduki Kerajaan Bone, sementara Arung Datu diasingkan.

Dalam pengasingan, Arung Datu masih berupaya menyerang, tetapi usahanya selalu dapat ditumpaskan pasukan Belanda.

La Pawawoi Karaeng Sigeri (1895-1905 M)

Pada 1895, Raja La Pawawoi Karaeng Sigeri yang naik takhta pada 1895 melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama putranya, Petta Ponggawae.

Dalam pertempuran tersebut, Petta Ponggawae yang kala itu berstatus sebagai Panglima Kerajaan gugur.

Hal ini membuat La Pawawoi Karaeng Sigeri menyerah karena Petta Ponggawae lah yang dianggap sebagai benteng pertahanan dalam perlawanannya terhadap Belanda.

Saat melihat putranya gugur, raja berucap dalam kalimat Bugis, "Rumpa'ni Bone" yang artinya bobollah Bone.

La Pawawoi Karaeng Sigeri kemudian ditangkap dan diasingkan ke Bandung, sebelum akhirnya dipindahkan dan wafat di Jakarta.

Setelah itu, terjadilah kekosongan kekuasaan di Kerajaan Bone selama 26 tahun.

Referensi:

  • Amarseto, Binuko. (2017). Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Relasi Inti Media.
 

https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/10/171835679/raja-raja-kerajaan-bone

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke