Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Politik Drainage: Pengertian dan Pelaksanaan

Pada masa pemerintahannya yang kedua ini, Belanda menerapkan sistem politik drainage atau Sistem Politik Pemerasan.

Politik Drainage adalah politik penghisapan kekayaan suatu bangsa oleh bangsa lainnya.

Pada awalnya, Belanda melakukan sistem politik ini untuk mengisi kekosongan kas keuangannya.

Namun, Politik Drainage pada akhirnya terus dilakukan meski kas keuangan Belanda telah membaik.

Eksploitasi terhadap sumber daya alam dan tenaga kerja rakyat ini menyebabkan penderitaan dalam berbagai aspek kehidupan.

Akibat paling menonjol dari Politik Drainage adalah terjadinya kemiskinan yang menjerat rakyat Indonesia.

Pengerukan kekayaan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial antara lain dengan cara menarik pajak yang tinggi kepada rakyat pribumi.

Politik Drainage mencapai puncaknya ketika diterapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang dilanjutkan dengan sistem ekonomi liberal.

Berikut bukti-bukti bahwa baik VOC maupun pemerintahan kolonial Hindia-Belanda melakukan Politik Ekonomi Drainage di Indonesia.

Penarikan pajak yang tinggi

Pada 1818, pemerintah Belanda menunjuk Van der Capellen sebagai Gubernur Jenderal, penguasa tertinggi di tanah jajahan.

Salah satu kebijakan yang dilakukan Van der Capellen adalah penarikan pajak tetap yang sangat tinggi kepada rakyat pribumi.

Hal ini tentu saja memberatkan rakyat hingga mendorong terjadinya protes dan perlawanan.

Sistem Tanam Paksa

Pemerintah Belanda terus mencari cara untuk mengatasi masalah ekonomi, hingga akhirnya diberlakukan sistem tanam paksa (cultuur stelsel).

Ide tanam paksa dicetuskan oleh Johannes van den Bosch untuk menyelamatkan Belanda dari kebangkrutan.

Menurut van den Bosch, daerah koloni merupakan tempat yang tepat untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya bagi negeri induk.

Pelaksanaan sistem tanam paksa menekankan pada kewajiban rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk penyerahan hasil bumi (innatura).

Tanaman yang wajib ditanam dan diserahkan antara lain, kopi, tebu, tembakau, teh, dan nila.

Pelaksanaan sistem tanam paksa membuat para petani hidup dalam kemiskinan dan kelaparan.

Beban mereka semakin berat karena harus menyerahkan seluruh hasil panen, menanggung panen yang gagal, masa tanam sepanjang tahun, tetap membayar pajak, dan menerima perlakuan penguasa yang sewenang-wenang.

Di sisi lain, sistem tanam paksa memberikan keuntungan melimpah bagi Belanda hingga berhasil mengatasi defisit keuangan di negaranya.

Sistem Ekonomi Liberal

Golongan liberal Belanda menganggap sistem tanam paksa sangat memberatkan rakyat.

Politik liberal di Indonesia atau yang disebut Politik Pintu Terbuka (Open Door Policy) diawali dengan penghapusan sistem tanam paksa pada 1870.

Periode ini ditandai dengan adanya kebebasan usaha berupa penanaman modal swasta di bidang perkebunan dan pertambangan.

Namun, pada kenyataannya, sistem ini tidak mengubah nasib rakyat menjadi lebih baik.

Rakyat justru ditekan dari dua pihak, yaitu pemerintah dan swasta.

Sebagian besar petani bahkan menjadi buruh di pabrik atau perkebunan dengan upah yang sangat rendah.

Referensi:

  • Makfi, Samsudar. (2019). Masa Penjajahan Kolonial. Singkawang: Maraga Borneo Tarigas.

https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/05/141638379/politik-drainage-pengertian-dan-pelaksanaan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke