Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Manchester City Terkena Hukuman FFP, Kenapa PSG Tidak?

KOMPAS.com - Manchester City dijatuhi hukuman berat oleh UEFA. Kubu Manchester Biru dilarang tampil di Liga Champions atau kompetisi antarklub Eropa lain untuk musim 2020-2021 dan 2021-2022 setelah terbukti melakukan pelanggaran Financial Fair Play (FFP).

Hukuman ini dijatuhkan oleh UEFA setelah Badan Kontrol Keuangan Klub-klub UEFA (CFCB) mengeluarkan pernyataan pada Sabtu (15/2/2020) dini hari WIB.

Tertulis bahwa Man City terbukti "menggelembungkan pemasukan sponsor di dalam neraca keuangan mereka dan informasi titik impas yang diserahkan ke UEFA antara 2012 dan 2016".

Selain skorsing tersebut, Manchester City juga diharuskan membayar denda di angka 30 juta uero atau kisaran 445 miliar rupiah.

Pemilik Manchester City, Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan dari keluarga penguasa Abu Dhabi, ditemukan telah mengelabui UEFA dengan menyalurkan uang pribadi dalam sponsorship senilai 67,5 juta pound (1,1 triliun rupiah) per tahun maskapai penerbangan Etihad ke Man City.

Sponsorship raksasa ini membuat nama Etihad muncul sebagai sponsor utama di jersey pemain Man City, nama stadion, dan akademi klub.

Dalam pernyataannya, Manchester City mengatakan mereka "kecewa tetapi tidak terkejut" oleh keputusan "penuh prasangka ini".

Mereka pun bakal membawa isu ini ke CAS, Pengadilan Arbitrase Olahraga.

Akan tetapi, hukuman yang diterima Man City membuat ke permukaan satu lagi klub yang bangkit dari kesemenjanaan untuk menjadi kekuatan sepak bola Eropa: Paris Saint-Germain.

Hal ini menjadi salah satu pembahasan utama di media raksasa Amerika Serikat, New York Times.

PSG dibeli oleh Qatar Sports Investment, yang dibiayai oleh dompet investasi negara Qatar, pada 2011.

Projek itu merupakan langkah lanjutan dari keberhasilan Qatar memenangkan hak untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.

Qatar ingin membangun sebuah klub yang dapat mencetak keberhasilan seperti Real Madrid dan Manchester United sekaligus membawa nama negara mereka berkibar.

Perjalanan instan PSG rezim Timur Tengah itu mencapai puncaknya pada 2017 saat kubu Paris menggelontorkan 370 juta euro lebih untuk mendatangkan Neymar pada musim panas 2017 lalu Kylian Mbappe pada setahun setelahnya.

Ketika itu, PSG berdalih bahwa mereka mendapatkan dana dari perusahaan-perusahaan raksasa Qatar seperti Ooredoo (Telekomunikasi), Qatar National Bank (Perbankan), dan yang terutama Qatar Toursim Authority.

Sponsorship terakhir menarik perhatian karena mendatangkan lebih dari 100 juta euro per musim.

UEFA menunjuk perusahaan marketing olahraga, Octagon Worldwide, untuk menganalisis persetujuan itu dan menemukan kalau nilai sponsorship Qatar Toursim Authority paling besar ada di angka 5 juta euro.

Namun, pada saat sama, PSG menunjuk firma lain untuk melakukan analisis sama dan perusahaan yang mereka tunjuk, Nielsen, mengutarakan kalau nilai sponsorship Qatar Toursim Authority mendekati angka yang mereka keluarkan ke PSG.

Yves Leterme, politisi senior dan mantan perdana menteri Belgia yang menjadi ketua tim investigasi finansial UEFA, anehnya tak memilih tinjauan ulang dari pihak ketiga.

Ia malah merujuk ke angka-angka Nielsen ketimbang Octagon. Alhasil, UEFA menutup kasus ini dan menarik segala tudingan ke PSG.

"Kepala investigasi melihat akun yang menguntungkan klub dan tak memberi perhatian ke hasil penelitian Octagon," tutur Jose Narciso da Cunha Rodrigues seperti dikutip dari New York Times.

Cunha Rodrigues merupakan mantan hakim top di pengadilan Eropa dan chairman panelis UEFA yang menjatuhi hukuman kepada tim-tim yang melanggar FFP.

Rodrigues bahkan mengatakan kalau hitung-hitungan yang diserahkan Leterme  meningkatkan taksiran Nielsen sehingga pengeluaran PSG tidak membuat mereka terjerembab masalah dengan FFP.

"Keputusan menutup kasus ini adalah kesalahan yang sangat besar," tulis Cunha Rodrigues kepada UEFA tahun lalu.

"Berlawanan dengan kepentingan klub-klub anggota UEFA untuk melihat satu kubu mempertahankan keuntungan finansial raksasa dari sebuah aplikasi regulasi cacat yang dilakukan oleh ketua badan investigasi," tulis Cunha lagi.

Penyelidikan dan dokumen-dokumen yang diterima oleh New York Times menuding UEFA menenggelamkan investigasi mereka sendiri dan PSG memakai kecacatan di sistem untuk menghindari hukuman FFP seperti City.

Namun, New York Times melaporkan kalau penyelidikan lanjutan tak pernah dilakukan.

PSG melapor ke CAS kalau ada kesalahan prosedural yang mengharuskan keputusan awal Leterme tetap berdiri.

UEFA berpihak kepada PSG dan cara mereka melihat peraturan ini. Oleh karena itu, kasus ini telah ditutup oleh UEFA.

Akan tetapi, Marca melaporkan kalau PSG, seperti semua klub-klub lain yang pernah diselidiki oleh Badan Kontrol Keuangan Klub-klub UEFA, bakal terus dimonitor.

https://www.kompas.com/sport/read/2020/02/15/204000467/manchester-city-terkena-hukuman-ffp-kenapa-psg-tidak-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke