Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andreas Doweng Bolo
Dosen

Ketua Pusat Studi Pancasila Universitas Katolik Parahyangan

Bung Karno Sang "Parrhesiast" dan Jejak Pancasila di Ende

Kompas.com - 01/08/2022, 10:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"Dan aku melihat pekerjaan Trimurti yang kukenal dalam agama Hindu. Aku melihat Brahma Yang Maha Pencipta berada dalam kuncup yang tumbuh di kulit kayu yang keabu-abuan itu…" (Cindy Adams: 163).

Sang parrhesiast itu jadi sungguh dekat dengan istrinya, kedekatan yang mendalam. Sepertinya dikisahkan Bung Karno,"Aku tidak pernah mengeluhkan penderitaanku pada Inggit. Kami hanya sesekali berbicara dari hati ke hati. Sekalipun hatiku sendiri gelap oleh rasa putus asa, aku mencoba membangkitkan kembali hatinya" (Cindy Adams: 154).

Soekarno juga mengalami kesedihan mendalam ketika tanggal 12 Oktober 1935 ia kehilangan seorang perempuan yang berjasa besar, ibu mertuanya, Amsi. Kecintaan akan ketulusan ibu mertuanya itu ditunjukkan Soekarno. "Dengan tanganku sendiri aku membangun kuburannya…aku mencari batu kali, memotong dan menggosoknya untuk batu nisannya…Ini adalah kehilangan yang pertama yang kualami. Dan sangat berat.” (Cindy Adams: 155).

Pancasila dalam derap revolusi, nalar, dan meditasi

Pada kunjungan ke Ende tahun 1951 dan 1954, saat Soekarno datang sebagai Presiden Indonesia, dia seakan kembali ke memori lebih kurang 20 tahun silam. Dengan lugas dikatakannya bahwa di kota itu, tepatnya di bawah pohon sukun di Pantai Ende itulah lima mutiara yang diberi nama Pancasila lahir.

Soekarno seakan menunjukkan bahwa Pancasila memang lahir dari derap revolusi kemerdekaan yang gegap gempita (Berlawanan dengan masa muda Soekarno yang diadili, dipenjarakan, dan dibuang). Pancasila juga lahir dari sebuah kerangka kognitif yang matang, terutama dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) -sebutan yang tepat adalah demikian tanpa kata “Indonesia” (Lih. RM. A.B.Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit FH UI 2009)- dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Pancasila juga lahir di tengah sebuah bentang alam yang terbuka, di tengah kesunyian meditasi politik kebangsaan seorang Soekarno di Ende.

Bulan ini, bangsa Indonesia akan memperingati hari ulang tahun kemerdekaan ke 77. Di rentang kemerdekaan ini ada hingar-bingar pembangunan, ada derap kemajuan, modernisasi yang tak terelakan tetap tetapi merefleksikan jati diri kita sebagai bangsa. Bangsa ini lahir dari perjumpaan dan dialog tulus, yang membutuhkan pergorbanan. Bangsa ini selain lahir dari keriuhan derap langkah yang gempita, juga di ruang kecerdasan intelektual dan kesunyian meditasi.

Pancasila adalah kalbu bangsa ini. Pancasila adalah kerangka kognitif yang memungkinkan kerja yang berorientasi pada pemerdekaan semakin paripurna. Seorang yang mencintai negeri ini, berarti seorang yang hidup dalam parrhesia yang telah ditunjukkan Bung Karno di Ende. Parrhesia Sokratik berdimensi etis dalam arti tidak memaksa orang, tetapi harus meyakinkan seseorang bahwa dia harus memberi perhatian pada dirinya dan orang lain juga sanggup mengubah hidupnya, dalam keberanian serta relasi personal dengan kebenaran.

Ruh ini juga yang dihidupi Bung Karno sampai akhir hanyat. Soekarno sejak muda hingga akhir hayat menunjukkan dimensi etis perjuangan, yaitu menghapuskan exploitation de l’homme par l’homme dan exploitation de nation par nation. Semangat yang kemudian dinyatakan secara tegas dalam Pembukaan UUD 1945 alinea pertama. “…maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”.

Soekarno sungguh seorang parrhesiast tentang Pancasila, dan itu kembali muncul di pidato di hadapan “IPKI dan Paduan Suara Gelora dari Medan di Istana Bogor, 25 Juni 1966”. Soekarno menandaskan bahwa Pancasila adalah ideologi pemersatu.

Badanmu bisa hancur, he Nak. Badanmu bisa ditembak mati. Badanmu bisa diasingkan, badanmu bisa disiksa, badanmu bisa dijadikan debu sama sekali, tetapi Pancasilamu, keyakinanmu akan tetap berkobar-kobar hidup, meskipun badanmu sudah hancur.”

Keberanian, kejujuran, dan pengorbanan Soekarno juga dikatakan dalam pidato di akhir kekuasaannya 10 Januari 1967. Warisan Soekarno adalah keyakinannya bahwa Pancasila mempersatukan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com