KOMPAS.com - Tari klasik lahir dalam lingkungan keraton atau kaum bangsawan. Hal ini karena masyarakat biasa dilarang untuk menarikan tarian tersebut.
Berbeda dengan tari rakyat, tari klasik atau tari keraton bersifat baku dan tertulis. Sehingga sejak zaman dulu hingga sekarang tidak ada yang berubah dari tari keraton.
Tari klasik ini berkembang turun-temurun dan dilestarikan di lingkungan keraton sehingga memiliki aturan yang tertulis dan jelas.
Dikutip dari buku Mengenal Seni Tari Indonesia (2020) oleh Muryanto, seni tari berada di dposisi sangat terhormat di keraton.
Tari keraton sebagai bentuk seni merupakan ungkapan dari segala macam ide-ide ke dalam bentuk-bentuk konkrit yang memiliki prinsip-prinsip mengenai bentuk dan struktur untuk menyampaikan pesan yang dipersepsikan melalui emosi atau perasaan.
Pesan-pesan dalam dalam tari keraton kemudian dimanifestasikan ke dalam gerakan tarinya berupa aturan-aturan, patokan, dan kaidah tari yang harus ditaato untuk mencapai keindahan tari.
Dalam implementasinya, aturan, patokan, dan kaidah tari keraton melahirkan teknik tari yang menyangkut unsur visual tari.
Baca juga: Ragam Tari Kreasi Daerah
Dilansir dari jurnal Karakter Dalam Tari Gaya Surakarta (2014) oleh Silvester Pamardi, terdapat tiga perangkat tari keraton, sebagai berikut:
Hastakawaca merupakan patokan mengenai wiraga. Wiraga sendiri adalah gerakan penari dalam membawakan suatu peranan. Ada delapan macam ketentuan, yakni:
Kawaca lagu adalah irama cepat lambatnya ketukan lagu atau gendhing. Dalam karawitan, irama gendhing terbagi menjadi:
Berkaitan dengan patokan gerak yang mengikuti patokan gamelan, ketuk, kenong, dan gong yang dipadukan dengan irama dalam bentung gendhing.
Baca juga: Perbedaan Tari Tradisional dengan Tari Kreasi Baru
Beberapa karakter tari kerator, yaitu: