Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pers di Era Orde Baru

Kompas.com - 22/12/2020, 16:53 WIB
Cahya Dicky Pratama,
Serafica Gischa

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Seiring runtuhnya kekuasaan pemerintah orde lama dan digantikan dengan pemerintahan orde baru, kehidupan pers di Indonesia pun perlahan memperoleh kebebasan.

Kebebasan tersebut diperoleh setelah pemerintahan orde baru mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Pers.

Undang-undang tersebut mengatur bahwa pers nasional tidak dapat disensor atau dikendalikan dan kebebasan pers dijamin sebagai bagian dari hak-hak dasar warga negara serta penerbitan tidak memerlukan surat izin apa pun.

Pada kenyataannya, para penerbitan surat kabar wajib memiliki dua izin yang saling terkait. Dua izin tersebut adalah Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan dan Surat Izin Cetak (SIC) dari lembaga keamanan militer KOPKAMTIB.

Meskipun harus memiliki surat izin, ketegangan antara pers dengan pemerintah belum terlihat ketika awal-awal pemerintahan orde baru. Pada masa awal pemerintahan orde baru, pers, dan pemerintah memiliki hubungan yang harmonis.

Baca juga: Pers di Era Orde Lama

Hal ini terjadi karena pemerintah orde baru menjajikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Kondisi tersebut disambut baik oleh insan pers sebab di era pemerintahan yang lalu, yaitu orde lama, kondisi tersebut tidak didapatkan.

Pers Indonesia di era orde baru sering disebut sebagai pers pancasila. Ciri pers pancasila adalah bebas dan bertanggung. Namun sayangnya, kebebasan tersebut hanya didapat pada saat awal-awal pemerintahan orde baru saja.

Kebebasan pers memudar

Kebebasan pers mulai sirna ketika terjadi Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974). Dalam peristiwa ini terjadi demonstrasi besar-besaran Jakarta. Demonstrasi ini dipicu oleh kedatangan Perdana Menteri Jepang, Tanaka.

Apabila dilihat lebih jauh, aksi tersebut berakar dari ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah di bidang sosial dan ekonomi.

Akibat peristiwa tersebut banyak aktivis yang ditangkap. Tidak hanya aktivis, peristiwa tersebut juga berdampak pada kehidupan pers.

Baca juga: Kebebasan Pers di Indonesia

David T. Hill dalam bukunya Pers di Masa Orde Baru (2011), menjelaskan bahwa setelah Peristiwa Malari ada 12 pers yang kehilangan surat izin terbit dan surat izin cetak atau bisa dibilang dibredel oleh pemerintah.

Sejak Peristiwa Malari, pemerintah mulai memperhatikan dan menekan pers. Tekanan terhadap pers semakin terasa ketika pemerintah orde baru mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers. Undang-undang tersebut merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966.

Apabila dalam undang-undang nomor 11 tahun 1966 tidak mengatur surat izin penerbitan pers, maka dalam undang-undang nomor 21 tahun 1982 surat izin pers benar-benar diatur. Surat izin tersebut dikenal sebagai Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).

SIUPP dikeluarkan oleh Departemen Penerangan. Departemen Penerangan dan SIUPP merupakan faktor yang menjadi penghambat kebebasan pers pada masa orde baru. Perusahaan pers dituntut sejalan dengan kebijakan pemerintahan orde baru.

Apabila perusahaan pers tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah atau malah mengkritik kebijakan pemerintah, maka SIUPP-nya akan dicabut (dibredel) oleh Departemen Penerangan.

Baca juga: Peran Pers dalam Negara Demokrasi

Meskipun begitu, masih banyak perusahaan pers yang tetap mengkritik pemerintahan orde baru. Tempo, DeTik, dan Editor merupakan perusahaan pers yang pernah dibredel oleh pemerintahan orde baru.

Alat pemerintahan

Dalam buku Perkembangan Pers di Indonesia (2010) karya Akhmad Efendi, dijelaskan bahwa pada masa orde baru, segala penerbitan pers berada dalam pengawasan pemerintah, yaitu melalui Departemen Penerangan.

Apabila tetap ingin hidup, maka pers harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintah orde baru. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasannya.

Sehingga pers tidak bisa menjalankan fungsinya yang sesungguhnya, yaitu mengawasi kinerja pemerintah dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Penekanan terhadap pers ini berlangsung hingga berakhirnya kekuasaan pemerintah orde baru.

Baca juga: Kode Etik Jurnalistik: Definisi dan Isinya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com